Terkini.id, Jakarta – Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengungkapkan bahwa pada Bank Perkreditan Rakyat (BPR) dan BPR Syariah (BPRS) cenderung kalah saing dari perusahaan pinjaman online (pinjol) ilegal dan rentenir sebagai sumber pinjaman bagi masyarakat.
Hal tersebut disampaikan oleh anggota Dewan Komisioner sekaligus Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK Heru Kristiyana usai peluncuran Peta Jalan Pengembangan Perbankan 2021-2025 bagi Industri BPR/BPS secara virtual.
Ia bahkan menyebut kekalahan terjadi karena masalah kecepatan akses keuangan. Ia menambahkan permintaan akses keuangan masyarakat semakin hari semakin cepat, bahkan ingin bisa 24 jam. Dan kecepatan itu belum bisa disediakan oleh BPR dan BPRS.
“Jadi kenapa pinjol ilegal dan rentenir bisa ada ruang? Karena layanan sangat cepat, layanan tanpa henti, 24 jam,” Kata Heru.
Ia menambahkan dari sisi risiko, pinjol ilegal dan rentenir cukup besar. Risiko berkaitan dengan bunga pinjaman yang ‘selangit’, denda keterlambatan pengembalian pinjaman yang tinggi, hingga tindakan penagihan bila tidak bisa mengembalikan pinjaman. Meski demikian, risiko itu masih belum membuat masyarakat berpalin.
- Wanita Bercadar Putih yang Gedor Rumah Warga Minta Maaf, Netizen: Pelakunya Enggak Cuma Satu
- Waduh, Rizal Ramli Tuding Pemerintah Jadi Penyebab Maraknya Masyarakat Terjebak Utang Pinjol: Masyarakat Disedot, Bikin Rakyat Susah!
- Soal Hukum Pinjaman Online, Pendakwah Idrus Ramli: Dosa Besar!
- Mengaku Didatangi Pinjol, dr. Tirta: Data KTP Saya Bocor
- Kantor Pinjol Ilegal Digerebek Polisi, 27 Pegawai Diamankan Salah Satunya WNA Asal China
Untuk itu, menurut Heru, BPR perlu melakukan transformasi bisnis ke depan, sehingga bisa mengambil ruang pinjaman masyarakat yang saat ini masih ada di pinjol ilegal. Dilansir dari CNN. Selasa, 30 November 2021.
“Saya menginginkan ruang yang diambil oleh para pinjol ilegal dan rentenir, bisa diambilalih oleh peran BPR dan BPRS kita,” ucapnya.
Heru mengatakan ada beberapa pengembangan yang perlu diadopsi BPR dan BPRS agar bisa mengambil ruang tersebut.
Pertama, kata Heru memperkuat modal baik secara mandiri maupun konsolidasi dengan cara merger, sehingga BPR dan BPRS punya sumber pendanaan yang kuat untuk memenuhi permintaan masyarakat.
Menurut catatan OJK, ada 31 BPR yang sudah selesai merger menjadi 13 BPR pada tahun ini. Sementara yang sedang berproses sebanyak 30 BPR dan akan menjadi 17 BPR pada tahun ini.
Kedua, mengadopsi teknologi dan digitalisasi agar pelayanan lebih cepat dan mudah kepada masyarakat. Bahkan, kalau bisa BPR dan BPRS bisa memberikan akses keuangan yang 24 jam.
“Kalau mereka (BPR dan BPRS) bisa memberikan layanan itu, kenapa nasabah harus lari ke pinjol yang beri bunga setinggi langit? Tentu nasabah akan bisa dilayani oleh BPR karena bunganya juga lebih bersaing dengan syarat yang tentunya tidak mencekik leher,” ungkapnya.
Ketiga, bekerja sama dengan pinjol legal (fintech). Menurut Heru, kolaborasi dengan fintech adalah solusi yang saling menguntungkan (win-win solution). Bagi BPR dan BPRS, mereka jadi bisa lebih cepat adopsi teknologi dan digitalisasi yang dibawa oleh fintech.
Sementara bagi fintech, mereka bisa memperluas jangkauan pinjaman dengan memanfaatkan cabang BPR dan BPRS yang tersebar hingga ke pelosok Indonesia.
“Jadi fintech bukan ancaman, tapi teman untuk BPR. Selama ini banyak orang katakan BPR bisa terdisrupsi oleh fintech, tapi kita tidak perlu dikotomikan, tapi dekatkan saja, kolaborasi,” imbuhnya.
Meski kalah dari rentenir dan pinjol, Heru mengklaim kinerja BPR dan BPRS cukup baik di tengah pandemi covid-19. Hal ini tercermin dari beberapa indikator.
Kendati begitu, ia tidak menampik ada beberapa BPR dan BPRS yang bermasalah sehingga harus ‘gulung tikar’. Hanya saja, ia mengklaim penutupan ini lebih banyak karena masalah bisnis internal, bukan karena kalah bersaing.
“Apakah ada yang kesulitan? Ada, tapi sebagian besar resilient. Dari beberapa yang kesulitan pun sebagian besar selesai, mereka konsolidasi, mereka tambah modal atau ganti pengurus. Intinya mereka survive,” pungkasnya.