Terkini.id, Makassar- Cerita ini kami ambil dari salah satu Group WhatsApp Alumni Al-bayan Ponpes Hidayatullah Makassar. Rabu, 2 Oktober 2019.
Hidayatullah salah satu Pesantren yang memiliki begitu banyak tersebar di seluruh Indonesia, tak terkecuali Wamena, Jayawijaya, Papua.
Tulisan yang tersebar dan kami dapatkan benar dari Ustad Mualliman selaku ketua DPW Hidayatullah Papua.
Kami bukan tak mau pulang, Bukan pula kami tidak ketakutan jauh dari orang tua, setiap hari hati kami gemetar melihat keadaan yang semakin hari tambah menakutkan.
Bukan kami tidak sayang orang tua ataupun sahabat yg selalu menelpon meminta kami pulang dan beranjak dari tempat ini. Tapi, kami memikirkan Islam yg bertahun – tahun dibangun dan dijuangkan ditempat ini.
- Cak Imin di Makassar: Kita Dilarang Kampanye di Masjid Tapi Orang di Masjid Bilang 'Amin'
- Gen Millenial Sulsel Menguji Kelayakan Capres, Anies Baswedan Menjawab
- Ini Jadwal Pemadaman Listrik di Wilayah ULP Jeneponto, 24 September 2023
- Masyarakat Sulsel Ikuti Jalan Gembira Bersama Anies - Muhaimin
- Pemkot Palopo Resmi Serahkan Lahan Hibah ke IAIN
Anak-anak santri yg masih menjadi mutiara emas untuk Agama Islam. Jika kami harus pulang maka segala usaha itu kembali ke Nol.
Masyarakat dan juga anak – anak kembali menjadi manusia awam yang tidak lagi tahu apa itu keharmonisan.
Islam yang sudah dibangun dengan darah dan bahkan nyawa tidak mampu kami tinggalkan begitu saja. Ku tahu, semua orang khawatir atas kondisi kami ditempat ini. Ku tahu, mereka bilang kami tidak takut mati karena menyangka egois dan naif. Tapi inilah keadaannya, kami masih berat meninggalkan Islam ditempat Pondok Pesantren Al-Istiqomah Walesi Wamena.
Kami sejujurnya ingin sekali berada di dekat orang tua, hidup tentram dan damai. Tidak berdesakan dengan ribuan manusia dan juga jauh dari ketakutan karena suara tembakan dimana – mana. Tapi kami juga tidak mampu menahan sakitnya meninggalkan anak – anak polos yg baru mengenal Islam. Mereka selalu bilang,
“Ustadzah dan Ustadz jangan pulang, kalau Guru – guru pulang kami akan kemana, Pasti kami akan tinggalkan shalat dan buka aurat.”
Apa hendak yang akan kami lakukan jika manusia yang tidak berdosa selalu mengambil tangan kami dan memohon agar kami tdk meninggalkan tempat ini, bahkan masyarakat pun ikut memotivasi kami, “Ustadzah jika pulang, maka Islam ini akan ikut hilang, Kami siap menjaga ustadzah dan Ustad serta guru -guru lainnya asalkan tidak meninggalkan tempat ini, Kami yang akan menjadi manusia terdepan manakala ada serangan dari luar sebelum ke Guru – guru”.
Hatiku hancur dan kata – kata itu menjadi pukulan berat bagiku untuk meninggalkan tempat ini. Bukan penguasa dan bahkan tangan – tangan orang besar yang menjamin kami tapi mereka orang – orang kecil yang juga takut kehilangan nyawanya, namun mereka rela berkorban siang dan malam menjaga kami agar tetap bertahan ditempat ini.
Lantas, kami harus berbuat apa saat kondisi justru memaksa kami tetap berjuang mempertahankan Agama Islam. Bendara jihad itu terlalu kuat untuk ditinggalkan dan menjadi yakin ada bala tentara Allah yg akan membantu kami, yang akan menjadikan kami tenang dan aman. Hanya keyakinan itu yg membuat kami kuat dan tetap bertahan ditempat ini.
Duri sudah biasa kami pijaki namun saat ini malah api yg menguji kami. Namun, tidak ada yang mustahil bagi-Nya.
Hanyalah kepada Allah kami yakinkan diri bahwa kami akan baik – baik saja. Dan bagi keluarga maupun saudara saat ini kami hanya butuh doa dan dukungan agar kami tidak kehilangan harapan dan keyakinan.
Ustad Muallimin berharap doa kepada seluruh warga Indonesia untuk selalu mendoakan keselamatan para da’i dan masyarakat yang ada di Wamena.