Digitalisasi Pendidikan: Peran Berlipat Guru SLB di Tengah Pagebluk Covid-19
Komentar

Digitalisasi Pendidikan: Peran Berlipat Guru SLB di Tengah Pagebluk Covid-19

Komentar

Terkini.id, Makassar – Di bawah terik matahari pagi pertengahan November 2020 di Kota Makassar, saya mendatangi Sekolah Luar Biasa (SLB) N 1 Makassar yang berlokasi di Parang Tambung, Kecamatan Tamalate.

SLB itu berada di sebuah jalan kecil, sisi kiri dan kanannya telah dikepung perumahan, seperti terperangkap. Luas sekolah tersebut 2,3 ha. Kala musim hujan datang, sekolah tersebut akan terendam banjir.

Namun, suasana langit Makassar pagi itu, masih sama seperti sebelumnya, gerah dan macet, meski hujan sudah sesekali turun, tapi belum menetap dan menentu.

Saat tiba depan pagar sekolah, saya bertanya pada petugas yang berjaga ihwal tempat pertunjukan anak-anak berkebutuhan khusus, yang rencananya akan unjuk talenta di hadapan anggota DPR Sulsel.

Dari jauh, saya mendengar ketukan gendang dan pukulan drum yang saling bertalu-talu. Selain itu tampak seorang anak penuh polesean bedak di wajah, mirip badut, rupanya akan tampil bermain pantomim.

DPRD Kota Makassar 2023
Baca Juga

Lantaran masih suasana pandemi dan keterbatasan ruangan yang tak memungkinkan berkumpul dalam jumlah besar, anak-anak yang tampil pun terbatas.

Di dalam ruangan, setiap orang tampak mengenakan masker. Mereka adalah para guru dan orang tua murid.

Plh Kepala Sekolah Luar Biasa Negeri 1 Makassar Rahmayani mengatakan telah menyiapkan beberapa murid berbakat untuk unjuk gigi di hadapan anggota dewan.

“Kami akan dikunjungi anggota DPR Sulsel, Komisi E. Kami berbahagia, paling tidak mereka akan mengetahui kondisi sekolah,” kata Rahmayani.

Sekolah tersebut tampak serba kekurangan, seluruh alat permainan anak-anak sudah tampak usang. Begitu pun dengan sarana dan prasarana sekolah yang serba terbatas. 

Namun semangat dan kerja keras para guru SLB untuk memaksimalkan kemampuan peserta didiknya di tengah keterbatasan fasilitas tak pernah surut sekali pun.

“Anak kami sudah diberi anugerah untuk dibina dan dibimbing. Kami hanya melengkapi apa kekurangan mereka untuk memaksimalkan potensinya,” ujarnya.

Kendati di tengah pagebluk Covid-19, Rahmayani bercerita bahwa para guru terus mensiasati model pembelajaran yang tepat agar bakat anak-anak didiknya terus berkembang.

Menurutnya, ada banyak sisi lain yang sering kali luput dari pandangan saat memberi penilaian terhadap anak berkebutuhan khusus. 

“Mereka bisa dan bertalenta jika disesuaikan dengan lingkungan yang menerima mereka,” tuturnya.

Pelayanan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus di tengah pandemi berjalan melalui pembelajaran daring. Sama halnya dengan sekolah reguler pada umumnya. 

Pandemi ini telah mengubah pola pendidikan yang selama ini bersifat tatap muka dan langsung menjadi daring (online) dengan memanfaatkan teknologi. 

Seluruh penyelenggara pendidikan perlu memastikan kegiatan belajar mengajar tetap berjalan meskipun peserta didik berada di rumah.

Hanya saja tantangan yang dihadapi guru SLB menjadi berlipat ganda, sebab pembelajaran jarak jauh membuat anak-anak difabel mudah kehilangan fokus saat proses belajar.

Sehingga, orang tua siswa mesti memberi pendampingan saat proses belajar tengah berlangsung. Terutama, kata Rahmayani, terhadap anak autis dan hiperaktif. 

“Kita tahu anak itu mudah mengambek, pada saat waktu belajar kalau dia bilang tidak mau, kita tidak bisa paksakan,” ujarnya.

Sementara kesulitan menghadapi anak tunarungu dengan pembelajaran daring adalah mereka butuh bahasa isyarat. Sementara, kata dia, tak semua orang tua mampu mengisyaratkan materi yang dibawakan.

“Kalau ada orang tua mengalami kesulitan, saya minta datang ke sekolah untuk mendapat bimbingan, untuk berbagi dengan guru,” kata Rahmayani.

Tak hanya guru yang memiliki peran berlipat, namun juga orang tua. Mereka saling mengisi dan melengkapi agar pembelajaran tetap berjalan di tengah pandemi.

Tak sampai di situ, Rahmayani menuturkan beberapa murid ada yang tak punya fasilitas belajar digital, seperti handphone. Sehingga para guru harus mencari cara lain agar pelayanan pendidikan tetap berjalan untuk semua murid. 

“Setiap hari saja belajar selama 1 semester belum tentu tuntas, apalagi di tengah pandemi ini. Kita bisa membayangkan bagaimana bingungnya orang tua menghadapi anaknya,” ungkapnya.

“Guru yang berkunjung ke rumah anak-anak atau biasa juga orang tua murid yang ke sekolah mengambil materi,” sambungnya kemudian.

Metode pembelajaran melalui digitalisasi pendidikan bagi anak penyandang disabilitas jelas belum optimal. Oleh karena itu, Rahmayani mengatakan telah menyiapkan satu terobosan baru.

“Ke depan guru-guru akan mendatangi setiap rumah anak-anak untuk mengetahui sejauh mana efektifitas pembelajaran,” tuturnya.

Namun yang menjadi kendala, kata Rahmayani, bila ada alamat yang tidak jelas atau mereka sudah pindah lantaran sudah habis masa kontrakan. 

“Ini jadi kendala ke depan bagi guru-guru saat melakukan home visit,” paparnya.

Jumlah anak penyandang disabilitas yang menempuh pendidikan di SLB N 1 Makassar sebanyak 261 siswa, mulai dari jenjang TK, SD, SMP, dan SMA.

Sementara guru SLB yang berstatus Pegawai Negeri Sipil (PNS) hanya berjumlah 68 orang dan non-PNS sebanyak 33, serta Staf sebanyak 11 orang.

“Kami butuh sekali guru, belum lagi sudah ada yang mau pensiun. Idealnya, 1 guru itu 5 siswa untuk SD, kalau SMP bisa 7-8 siswa,” keluhnya.

Anak-anak yang belajar di sekolah tersebut mulai dari tunanetra, tunarungu, tunadaksa, tunagrahita, dan autis. Ia mengatakan setiap anak punya keluhan yang beragam.

“Di sini, tunagrahita dan tunarungu yang paling banyak masuk tiap tahun. Jadi biasa agak repot pembagiannya karena jumlah guru yang terbatas,” ungkapnya.

Persiapan Menghadapi Sekolah Tatap Muka 

Untuk membuat anak-anak belajar dengan ceria, Rahmayani membutuhkan sejumlah permainan anak-anak di ruang terbuka. Begitu pun suasana lingkungan sekolah yang sejuk dan tenang.

Seperti mengajak anak-anak bermain di bawah rindang pohon. Anak-anak berkebutuhan khusus senang bermain di ruang terbuka. 

“Sekolah kami butuh pohon untuk melindungi anak-anak supaya merasa nyaman berada di sekolah. Sekolah ini adalah rumah kedua buat mereka,” ungkapnya.

Begitu juga dengan perbaikan sejumlah fasilitas vital, semisal toilet dan alat kebersihan. Ia berharap, ke depan, dunia pendidikan menuju pada kesetaraan. Tak membedakan antara sekolah SLB dan reguler. 

“Sarana dan prasarana kami serba terbatas dan sudah usang, sudah tak milenial lagi,” tutup Rahmayani dengan kelakar.

Usai wawancara, tak terasa matahari sudah berada di atas kepala dan dewan yang ditunggu belum juga datang.