Terkini.id, Jakarta – Seperti yang diketahui bersama, belakangan ini publik ramai memperbincangkan masalah korupsi yang satu demi satu mulai terkuak dan muncul ke permukaan.
Kali ini giliran seorang konglomerat bernama Sukanto Tanoto yang tengah menjadi sorotan sekaligus pusat perhatian terkait adanya pengemplangan pajak atau pencucian uang.
Baru-baru ini, dilansir dari viva.co.id, kolaborasi jurnalis internasional dalam proyek OpenLux menyisir data-data yang ada di perbankan Luxembourg yang dicurigai menjadi bagian dari operasi pengemplangan pajak para miliarder dunia.
Hal serupa pernah dilakukan kolaborasi jurnalis yang mengungkap skandal Panama Papers. Dari dokumen-dokumen Open Lux, terungkaplah kepemilikan gelap gedung-gedung Sukanto Tanoto dan anaknya Andre di Jerman.
Andre Tanoto disebut membeli satu dari tiga gedung mewah rancangan arsitek kondang Frank O. Gehry di kota pusat perekonomian Dusseldorf, ibu kota negara bagian Nordrhein Westafalen.
- BKN Sebut PNS Pria Boleh Poligami, Sedangkan PNS Wanita Tidak ..
- Gaji Tidak Dibayar, 3 Anggota EXO Tuntut SM Entertainment
- Ditinggal Tidur Bidan Puskesmas Pauh, Suami di Sumsel Kehilangan Istri dan Anaknya
- Hujan Ringan dan Gelombang Laut Tinggi Ancam Sulawesi Selatan
- Kalla Beton Beri Edukasi untuk Para Pembeli Produk Konstruksi
Namun, gedung seharga 50 juta euro itu belum seberapa dibanding bekas istana Raja Ludwig di Munchen yang dibeli Tanoto Sukanto tidak lama sesudahnya di Kota Munchen.
Gedung empat lantai itu, yang sekarang menjadi kantor pusat perusahaan asuransi Allianz di kawasan prestisius Ludwigstrasse, menurut dokumen OpenLux dibeli seharga 350 juta euro atau sekitar 6 triliun rupiah.
Anggota Parlemen Uni Eropa dari fraksi Partai Hijau, Sven Giegold, mengungkapkan bahwa keluarga Sukanto Tanoto secara diam-diam melakukan pembelian terselubung itu lewat beberapa perusahaan cangkang di Cayman Islands, Singapura, dan Luxembourg.
Dia menegaskan bahwa pembelian terselubung biasanya dilakukan untuk pengemplangan pajak atau pencucian uang dan tentu itu sangat merugikan Jerman, Luxembourg, dan Indonesia.
Otoritas di Jerman tidak mengetahui bahwa konglomerat sawit asal Indonesia itu yang membeli properti-properti tersebut.