Terkini.id, Jakarta – Akhir tahun 2021, pekerja migran Indonesia yang tergabung dalam Jaringan Buruh Migran Indonesia (JBMI) Hongkong menyatakan penolakan atas pemberlakuan syarat persetujuan suami, istri, orang tua, atau wali saat melakukan perpanjangan kontrak kerja.
Syarat ini ada pada pasal 9 ayat (1) huruf (c) Peraturan Badan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia atau BP2MI 01/2020 tentang Standar, Penandatanganan, dan Verifikasi Perjanjian Kerja Pekerja Migran Indonesia yang mensyaratkan persetujuan dari suami/istri/orang tua/wali, dalam perpanjangan perjanjian kerja.
Ketentuan tersebut akan diberlakukan di Konsulat Jenderal Hongkong mulai 1 Januari 2022 kemarin.
Dilansir dari kanal Youtube CokroTV yang di unggah pada Kamis, 17 Maret 2022, Rian Ernest, seorang politikus membagikan opininya terkait peraturan baru pemerintah mengenai pemberlakuan syarat persetujuan suami, istri, orang tua, atau wali saat melakukan perpanjangan kontrak kerja.
“Kalau di dalam negeri, teman-teman kita ini sering dikatakan sebagai pahlawan devisa. Tapi kita tau mereka sering kena pungli pas mudik. Dan bahkan ada aturan baru yang menyulitkan mereka. Kasian banget pahlawan devisa kita,” ucap Rian Ernest mengawali video tersebut.
- Pekerja Migran Indonesia Sumbang Devisa Rp159,6 triliun, Airlangga: Pemerintah Terus Tingkatkan Perlindungan
- TKI Didenda 270 Ribu Dollar Taiwan Gegara Keluar dari Kamar Karantina Selama Satu Menit
- Peduli Nasib Pekerja Migran Indonesia, Airlangga Hartarto Raih PMI Award 2021 sebagai Tokoh Inspiratif
- Disnaker Sebut Tukang Bangunan Asal Makassar Kalah Bersaing dengan Pekerja Migran
Para aktivis JBMI Hongkong bersama rekan-rekannya pekerja migran Hongkong dan Macau menolak surat tersebut, karena aturan itu sudah dipenuhi saat berada di Indonesia dan saat masih menjadi calon pekerja migran.
Penolakan dilakukan dengan berbagai cara, baik demonstrasi fisik dengan mengusung sejumlah poster yang bertuliskan penolakan dan difoto untuk disebarluaskan.
Aturan tersebut dinilai menimbulkan celah pungli dan justru menyusahkan para pekerja migran maupun keluarga yang ada di Indonesia.
“Mulai dari kerumitan berkenan dengan administrasi kependudukan, misalnya alamat domisili di Indonesia yang tidak lagi sesuai dengan alamat di KTP, pasangan pekerja migran yang sudah bercerai tapi belum pernah urus dokumen perceraian, atau orang tua yang sudah meninggal dunia, belum lagi permintaan salam temple dalam proses-proses itu,” ujar Rian Ernest.
Banyak pekerja migran yang meminta agar Badan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI) mencabut peraturan syarat surat izin dalam perpanjangan kontrak pekerja di luar negeri.
Peraturan tersebut dianggap menyulitkan pekerja migran. Namun, BP2MI membantah mengeluarkan kebijakan yang menyulitkan pekerja migran.
“Karena menurut kepala BP2MI, Benny Rhamdani, aturan tersebut merupakan mandate Undang-Undang yang harus dijalankan oleh institusinya,” ucap Rian Ernest.
“Katanya, surat keterangan izin itu perintah atau mandat dari UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM dan juga UU No.18 Tahun 2017 tentang pekerja migran Indonesia, serta Permenaker No.9,” tambahnya.
Rian Ernest juga mengatakan perlindungan terhadap pekerja migran dapat dilakukan dengan lebih praktis tanpa menyulitkan pekerja migran tersebut.
Dengan segala polemik dan penolakan, BP2MI berencana akan mengajukan solusi dari permasalahan tersebut dengan mengeluarkan petunjuk teknis atau surat edaran yang sedang digodok oleh biro hukumnya.