Penulis: IRWAN.AR (bekerja sebagai penulis lepas)
FESTIVAL Kala Monolog yang rutin digelar setiap tahunnya kembali digelar kala teater untuk kedua belas kalinya. Dua tahun sempat absen karena situasi pandemi yang tak mengizinkan kegiatan yang mengumpulkan orang banyak termasuk kegiatan kesenian. Itulah mengapa Festival Kala Monolog XII (selanjutnya akan saya tulis FKM XII) ini mengangkat tema “Pulih”.
Sudah 13 tahun sejak 2009 FKM digelar oleh Kala Teater, kali ini ajang kompetisi untuk menemu kenali aktor dan penciptaan artistik pelaku dan kelompok teater ini menjadikan momen kehidupan normal baru setelah wabah pandemi Covid-19 ini sebagai ruang yang kembali menghubungkan orang-orang yang banyak mengubah pola kehidupan dan juga (diharapkan) proses penciptaan seni.
Ada 12 penampil dari 15 peserta yang terdaftar –satu di antaranya dikabarkan masuk rumah sakit sehari sebelum pelaksanaan kegiatan. Sementara ada 10 naskah yang disiapkan penyelenggara dari penulis -penulis naskah lakon yang namanya cukup dikenal khalayak seni pertunjukan dan sastra tanah air. Mereka menulis khusus naskah untuk FKM XII.
Seperti, Joned Suryatmoko yang menulis naskah dengan judul “Jurus pedang yang tak wajar”, Imas Sobaria naskah berjudul Kota yang Khianat karya Imas Sobaria, “Nadi di Ujung Taji” karya Wulan Saraswati, “Pelarian dari Tamalate” karya Shinta Febriany, “Prana di Sebuah Teras Pria Tua” karya Dyah Ayu Setyorini, “Rasa” karya Agnes Christiana, “Ruang Tunggu Kemoterapi” karya Nurul Inayah, “Seseorang Mengeja Kamar Mandi” karya Udiarti, “Sopir 1988” Karya Azhari Aiyub dan “Wabah: Reinkarnasi” karya Ibed S Yuga. Sementara saya dan 2 penulis naskah, Ibed S Yuga dan Inayah bertindak sebagai juri.
Karena itu tulisan ini bisa dianggap sebagai sebuah amatan yang bukan hanya penonton tapi juga ditugaskan mengamati secara kritis dan detail. Bukan Cuma sebagai penonton yang bisa sangat subyektif dan sesukanya memilih pertunjukan yang akan ditonton.
Teater yang mencoba pulih.

Seperti kita alami bersama bagaimana Pandemi mengubah banyak hal dalam kehidupan seperti bagaimana kita berinteraksi dengan beberapa aturan yang mau tidak mau dilakukan seperti bersalaman, memamakai masker handsanitizer, konsumsi vitamin berolahraga dan berjemur, serta prilaku pekerjaan dengan work from home (WFH) dan bertemu via zoom meeting ataupun google meeting.
Bidang kesenian dan lebih spesifiknya teater yang cukup lambat beradaptasi dengan teknologi itu dipaksa beradaptasi. Muncullah beberapa invovasi dengan platform sosial media YouTube ataupun semacam genre teater film dan banyak berharap dengan multimedia. Teater sebagai peristiwa bersama dalam ruang dan waktu yang sama harus dibatasi dengan virtual.
Perspektif menonton pun yang terbiasa dengan posisi didepan panggung atau didepa panggung, mesti digantikan oleh ‘mata’ kamera. Sepintas menjadi tak ubahnya menonton film atau semacam dokumentasi video.
Banyak kelompok teater dan seniman teater yang cukup beken itu beradaptasi dengan situasi terbatas seperti itu dan nyaris tanpa tahu hingga waktu kapan semua akan kembali seperti sediakala.