SERINGKALI kata Tawadhu dimaknai dengan ketidakinginan tampil atau menampakkan diri dan karya dalam kebaikan.
Padahal tampaknya atau tampilnya seseorang dalam kebaikan dan karya tidaklah selalu bermakna keangkuhan. Tidak juga selalu bermakna dan dimaknai sebagai riya (show off).
Dalam kebaikan dan karya dua kata sensitif (angkuh dan riya) itu perlu diselami, dihayati, dan disikapi secara jeli dalam penghakiman.
Jika tidak, kemungkinan besar kita akan terjatuh ke dalam prilaku keangkuhan (dan riya). Atau sebaliknya terperangkap dalam “penghakiman negatif” terhadap orang lain yang justru sedang membangun kebaikan dan karya.
Karakter terbalik dari angkuh dan riya adalah Tawadhu dan ikhlas. Keduanya adalah dua karakter manusia yang bernilai tinggi dan (valuable) mulia (noble).
Walau memang sering menjadi tipuan yang tidak disadari dalam kehidupan manusia. Masalahnya ada pada “perasaan”.
Orang yang “merasa” paling Tawadhu justru itu sudah merupakan keangkuhan. Atau seseorang “merasa” ikhlas justeru bisa jadi bagian dari riya.
Masalahnya memang “perasaan” manusia itu sering menipu. Merasa tawadhu, merasa ikhlas, merasa pintar, merasa hebat, merasa mampu, merasa kuat, dan berbagai “perasaan” telah banyak menipu manusia.
Dan karenanya Sesungguhnya yang terbaik dalam menyikapi semua itu adalah biarkanlah Dia Yang “Ahkamul Hakimin” (Allah) menghakimi. Karena Dia lebih tahu tentang diri kita dari kita sendiri.
Tawadhu Dalam Dakwah
Salah satu hal yang menuntut sikap dan karakter tawadhu’ (pastinya ikhlas) adalah kerja-kerja Dakwah yang kita lakukan.
Hal itu penting karena secara prinsip Dakwah itu adalah ajakan kepada nilai (ilaa sabiili Allah).