Seberapa Dalam?
Kita patut bersyukur dan berterima kasih kepada semua pihak yang memiliki ide ini di Bulukumba, baik dari Kementerian maupun dari Pemerintah Kabupaten Bulukumba sebagai tuan rumah.
Sebagai rakyat, secara pribadi tentu merasa senang dan mengapresiasi ide ini. Namun, meski demikian, tanpa mengabaikan hal-hal positif dalam bidang promo wilayah dan kepariwisataan, geliat ekonomi, citra positif daerah, dan banyak lagi hal lainnya, tentu, sudut pandang manusia merdeka dan sadar hukum atas hal ini adalah sesuatu yang halal untuk disampaikan.
Negara menjamin kebebasan berpendapat yang konstitusional, terlebih lagi atas sebuah diskursus dalam masyarakat, berbangsa, bernegara, bebudaya, dan beragama.
Apakah cukup dengan mengibarkan jutaan bendera di hari kemerdekaan dan itu bisa menancapkan rasa nasionalisme lebih mendalam? Jawabannya tentu beragam.
Nasionalisme sebagai sikap cinta bangsa dan tanah air harus terpancar dalam sikap, setidaknya mengukur dengan pikiran dan menggali ke dalam sanubari tentang laku hidup yang nasionalis, setidaknya bersikap baik dan sosialis humanis terhadap perilaku berbangsa dan bernegara kita.
Bagi birokrasi yang melayani masyarakat, tentu harusnya bersikap adil atas jabatan yang diemban.
Melayani rakyat atas semua layanan birokrasinya harusnya menjadi sikap utama dan tidak mempersulit setiap akses hak dasarnya.
Karena sikap nasionalisme di zaman merdeka adalah mencintai bangsa dan tanah air dan semua orang yang bernapas di bawah langit dan di atas permukaan bumi.
Semua diperlakukan terbalik dari sikap kolonialisme yang menindas.
Kolonialisme sangat membenci nasionalisme. Orang dahulu rela disembelih seperti kakek Eddy Santry atas sikap nasionalismenya melawan kolonial.
Salah satu ciri kolonial adalah menghisap seperti lintah dan memaksa dilayani seperti bangsawan/pejabat penjajah.
Mereka mengabaikan peri kemanusiaan dan mempersulit masyarakat yang dijajahnya untuk mendapatkan manfaat pribadi sebesarnya.
Di zaman sekarang, mental kolonial tentu belum sepenuhnya hilang di bumi pertiwi.
Pejabat-pejabat lokal di penjuru Nusantara masih senang diperlakukan seperti raja kuno, daripada melayani rakyat seperti pelayan yang sebenarnya.
Banyak orang masih merangkak dengan lutut untuk mendapatkan hak-haknya, semisal tanda tangan pejabat tertentu sebagai bagian dari bujukan rakyat terhadap pejabat untuk mendapatkan tanda tangannya.
Tentu, sikap seperti itu adalah sikap tidak Nasionalis. Tidak cinta bangsa dan tanah air.
Pengibaran jutaan Bendera di Bulukumba tentu harus dibuat catatan perenungannya.
Apakah Orang Bulukumba tahu sejarah pengibaran bendera merah putih pertama kali di Bulukumba?
Pertanyaan ini tentu sederhana. Namun, jika tak dijawab dengan cinta atas pengetahuan sejarah daerah, maka jutaan tiang bendera di tepi jalan akan bertanya pada dirinya sendiri, sejak kapan saya dikibarkan di tanah ini?
Hari pertama pengibaran merah putih dan pengungkapan atas tokoh-tokohnya di Bulukumba seharusnya ditempatkan pada posisi sejarah penting, jika pengibaran bendera di Bulukumba juga dianggap penting, sebagai apresiasi pada pelaku sejarah di Bulukumba.
Nama-nama seperti Mappisabbi, Mappiasse, Paedda, Patumbui, dan beberapa orang lainnya lagi, harus dikisahkan juga pada generasi sekarang, agar mereka tahu bahwa momentum itu dan tempat pengibaran ya memang ada (Bulo-Bulo Bulukumpa?)
Dua bulan pasca pengibaran bendera Merah Putih di Jakarta. (Penulisan nama boleh jadi saya lupa dan salah).
Pengibaran bendera ke angkasa juga harusnya menggugah pertanyaan kemanusiaan kita seberapa dalam kita mencintai republik ini dalam lalu keseharian kita?
Apakah kita peduli dengan cinta terhadap semua orang yang menyanyikan lagu kebangsaan yang sama di republik ini?
Cinta tanah air atau nasionalisme tentu bukan hanya soal piagam-piagam pemerintah dan gedung-gedung ikonik.
Akan tetapi, seluas apa lenso.merah para pejabat atau para birokrat menghapus rasa haus dan lapar rakyat di wilayahnya.
Atau, jangan sampai, keberadaan pejabat itu hanya menjadi penghambat dari jalan mulus menuju sejahtera dan peri keadilan di hati masyarakat.
Di puncak acara nanti, tentu saya akan ikut menjadi salah satu dari setengah juta orang Bulukumba yang akan berdiri memberi hormat.
Namun, di antara setengah juta orang Bulukumba, belum tentu ada yang memiliki kegelisahan yang sama dengan perasaan saya.
Berkali kali dalam berbagai kesempatan saya mengungkapkan, pejabat adalah ikon kaum nasionalis sampai pensiun.
Politisi adalah ikon hanya perlima tahun. Namun, Budayawan, Seniman, Relawan Kemanusiaan adalah mereka yang menempatkan cinta tanah air dalam hatinya, sampai seumur hidup.
Budayawan seumur hidup. Bahkan, setelah kematiannya, buah pikiran dan sikapnya masih akan terus dibicarakan, dikutip, dan diulang-ulang untuk disampaikan sebagaimana dalam karya-karyanya.
Seberapa dalam nasionalismemu? Tunjukan dengan karya-karyamu untuk kemashalahatan rakyat di sekelilingmu!
Kibarkanlah bendera Merah Putih dengan perkasa setiap saat di hatimu, minimal memiliki KTP, SIM, dan Bukti Setoran Pajak, pakai helm saat berkendara, tidak melanggar lalu lintas, dan bersabar saat antre di ruang publik.
……………..
Foto bersama Echa Panrita Lopi di Tugu Garuda perbatasan Indonesia Malaysia di Pulau Sebatik, Kalimantan Utara
Dapatkan update berita terkini setiap hari dari Terkini.id. Mari bergabung di Saluran Whatsapp "Terkinidotid", caranya klik link https://whatsapp.com/channel/terkinidotid, kemudian klik ikuti.
