Suatu ketika dalam sebuah forum, saya sedang berbicara menyampaikan sebuah materi pengantar diskusi. Tak terasa azan berkumandang dari pelantang suara masjid. Saya harus berhenti sejenak menunggu usainya. “Maaf, kita lanjut setelah azan”, kataku. Para peserta tidak keberatan sambil menikmati waktu jeda untuk bersantai sejenak. Dalam waktu jeda itu, ada yang saling berbincang, ada yang diam, ada yang terlihat asik dengan gawai cerdasnya, dan ada yang ke toilet. Setelah azan, materi pengantar diskusi dilanjutkan.
Dalam sesi diskusi, saya memikirkan kemungkinan pikiran semua peserta yang berada dalam forum tersebut atas tindakan jeda yang saya lakukan saat mendengar azan. Mungkin ada dari mereka yang menganggap saya adalah bagian dari kelompok orang yang menghargai panggilan ibadah dan menghidupkan “tradisi jeda aktivitas” saat kumadang azan masjid terdengar. Mungkin ada yang menganggap saya sebagai sok saleh, sok beriman, dan seterusnya. Atau ada yang menganggap saya sebagai bagian dari kelompok Islam tertentu. Ini bisa sampai pada debat teologis jika dipersoalkan.
Di akhir diskusi, saya mengambil kesempatan untuk menjelaskan sejenak. “Maaf teman-teman peserta diskusi. Saya tadi menjeda saat azan berbunyi. Ini bukan soal alasan teologis, mazhab, atau kelompok Islam. Ini hanya soal teknis komunikasi. Meskipun saya memaksa menaikkan suara layaknya orasi demonstran, kita tetap tidak akan mampu melawan kerasnya suara azan dari masjid. Maka kompromi yang lebih rasional adalah kita jeda menunggu azan usai. Toh durasi azannya hanya satu sampai dua menit. Lebih pendek dari durasi iklan di radio dan teve”.
***
Surat Edaran Menag RI Nomor SE. 05 tahun 2022 tentang Pedoman Penggunaan Pengeras Suara di Masjid dan Musala sebenarnya bukan hal baru. Sebelumnya sudah ada Surat Edaran Nomor B.3940/DJ.III/Hk.007/08/2018 tentang Pelaksanaan Instruksi Dirjen Bimas Islam Nomor KEP/D/101/1978 tentang Tuntunan Penggunaan Pengeras Suara di Masjid, Langgar dan Musala.
- Masjid 99 Kubah Asmaul Husna Makassar Kumandangkan Dua Kali Azan Subuh
- Musni Umar: Adzan Isya Baru Saja Berkumandang, Selamat Shalat Maghrib
- Nicho Silalahi: Woi Yaqut Gue Ini Kafir, Tapi Azan Bantu Gua Bangun Pagi
- Singgung Pembela Azan, Pendakwah Das'ad Latif: Lebih Penting Datang ke Masjid Ketika Azan
- Sindir Aksi Bela Azan PA 212, Netizen: Masjid Azan Mereka Masih Lanjut Demo
Permasalahannya, mengapa polemik ini berulang-ulang layaknya cerita berseri?
Di tahun 2022 ini bahkan polemiknya sampai pada tindakan melaporkan menteri kepada pihak berwajib, atas penjelasannya yang dipandang mensejajarkan suara azan dan suara anjing.
Problem utama dari persoalan ini adalah praktik komunikasi Islam. Selama ini, azan, tarhim, dan lantunan Alqur’an melalui pelantang suara masjid, masih sekedar didudukkan sebagai pundi-pundi pahala ketika kita memperdengarkan atau mendengarnya. Belum diposisikan sebagai praktik komunikasi Islam dalam kehidupan sosial. Gus Dur secara jenaka menggambarkan dengan pernyataan; “memanggil Tuhan saja harus memakai toa”.
Merujuk hadits Ibnu Umar pada Shahih al-Bukhari, azan diperintahkan pertama kali saat Rasulullah SAW dan umat Islam tiba di Madinah. Rasulullah SAW memilih dan memerintahkan Bilal bin Rabah untuk mengumandangkan azan, karena suara Bilal bin Rabah itu “lebih baik” dan “lebih kuat”. Dalam keterangan lain, Rasulullah SAW menyatakan bahwa manusia, jin, dan lainnya yang mendengar lantunan azan dari muazzin akan menjadi saksi di hari akhirat kelak.
Kumandang azan bertujuan menginformasikan masuknya waktu shalat dan mengajak umat melaksanakan ibadah shalat secara berjamaah di masjid. Dengan demikian, azan merupakan praktik komunikasi verbal dalam bentuk tutur atau lisan.
Dalam Alqur’an terdapat sejumlah prinsip yang harus dipenuhi dalam prakktik komunikasi verbal. Prinsip tersebut yakni; qaulan baligha, perkataan yang singkat, tepat, padat, jelas, membekas di jiwa (An-Nisa’/4:63); qaulan maisura, perkataan yang patut, yang sesuai, memberi harapan atau optimisme (Al-Isra’:28); qaulan qarima, perkataan yang menghormati, memuliakan dan tidak menjatuhkan (Al-Isra’:23); qaulan ma’rufa, perkataan yang yang baik, untuk kemaslahatan (Al-Baqarah:83, Al-Baqarah:263, An-Nisa’/4:8, Al-Isra’:53); qaulan layyina, perkataan yang bermakna lembut, intonasi lembut (Taha:43-44); qaulan sadida, perkataan yang tepat, benar, argumentatif, responsibel (An-Nisa’/4:9 dan Al-Ahzab:70); qaulan syawira, perkataan yang bersifat dialogis dan interaktif (Al-Baqarah:233, Ali ‘Imran:159, dan Asy-Syura:38).
Dengan demikian secara tutur, azan, lantunan Alqur’an dan tarhim yang disampaikan melalui pelantang suara di masjid menjadi baik jika; (a) durasinya singkat dan jelas, (b) membangun semangat beribadah sesuai sifatnya sebagai ajakan sebagaimana Rasul memilih Bilal, (c) bukan lantunan yang loyo tanpa power ―bedakan dengan suara keras, (d) disampaikan dengan penuh rasa hormat pada orang lain, (d) mengutamakan kemaslahatan umum, (e) intonasi yang lembut, (f) lagu yang merdu, (g) pengucapan atau lafalan yang benar sesuai kaidah pembacaan, dan (h) artikulasi yang jelas.
Azan harus berdamai dengan lingkungan sekitar. Di lingkungan mayoritas, azan tidak merepresentsikan sikap dominasi mayoritas. Atau dalam lingkungan minoritas azan tidak merepresentasikan teriakan minoritas.
Olehnya itu pula secara metodologis, Alqur’an menuntun agar lantunan azan harus disampaikan dengan cara bijak (bil hikmah) dan cara yang baik (mau’izhah). Dengan metode inilah kita bisa menemukan karakter syiar Islam pada lantunan azan, tarhim dan Alqur’an. Lantunan yang membawa rahmat bagi lingkungannya.
Untuk memenuhi prinsip dan metode komunikasi di atas, pelantang suara harus dikelola dan ditunjang dengan sound system yang baik. Tetapi tidak seperti disentil Iwan Fals; “bagai suara azan yang dikasetkan, sementara itu sang bilal terpulas mendengkur”.
Dalam spirit komunikasi Islam inilah sebaiknya Surat Edaran Menteri dipahami oleh publik, sebagai ajakan melakukan praktik komunikasi Islam dalam kehidupan sosial. Surat Edaran tersebut sangat positif untuk mulai membangun kesadaran komunikasi beragama sesuai dengan tuntunan Islam. Baik-buruknya Islam di tengah publik sangat ditentukan oleh cara umatnya mengkomunikasikan agamanya.
Dalam perspektif komunikasi Islam, sebagaimana pentingnya mengatur suara azan, setiap pribadi muslim sejatinya juga penting untuk mengontrol diksi, perkataan, dan pernyataannya di tengah publik, agar tidak menimbulkan kegaduhan publik. Sikap ini mesti dimulai dari dan diteladankan oleh para elit umat dan publik figur. Bukankah maksud baik, jika dikomunikasikan dengan cara yang buruk, hanya akan menghasilkan kegaduhan?
Banga, 25 Februari 2022
Penulis: Hamdan (Dosen Universitas Al Asyariah Mandar)