Terkini.id, Jakarta – Permendikbud Ristek tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi (PPKS) menuai kecaman dari berbagai pihak lantaran dinilai melegalkan terjadinya zina di lingkungan kampus.
Ketua Komisi X DPR RI, Syaiful Huda angkat bicara memberi tanggapannya terkait Peraturan yang dikeluarkan oleh Nadiem Makarim tersebut.
Syaiful mengatakan bahwa sebaiknya Nadiem Makarim segera merevisi beberapa substansi dari permendikbud PPKS.
“Tidak ada salahnya Mas Nadiem merevisi terbatas Permendikbud ini secara cepat untuk lebih menegaskan norma konsensual agar mempunyai kekuatan yang lebih mengikat, sehingga siapa saja yang hendak melakukan hubungan seksual bisa dicegah,” ujar Syaiful dikutip dari detikcom, Selasa 9 November 2021.
Syaiful Huda membenarkan bahwa definisi kekerasan seksual yang tertera dalam Permendikbud 30/2021 bisa saja memicu multitafsir.
- Arteria Dahlan Ancam Mahfud MD Karena Sebut Anggota DPR Makelar Kasus
- Skandal Irjen Teddy Minahasa, Anggota DPR Sebut Polri Seperti Drama Sinetron
- Viral Oknum Diduga Anggota DPR Suruh Supir Truk Push Up, Leher Diinjak
- Anggota DPR Sorot Brigjen Hendra Kurniawan Usai Naik Jet Pribadi Diduga Milik Mafia Judi
- Effendi Sebut TNI 'Gerombolan', Ruhut Sitompul: Jangan Adu Domba, TNI Solid!
Menurutnya, definisi kekerasan seksual dalam Permendikbud ini harus lebih tegas serta memperhatikan norma konsesual yang menjadi faktor dominan untuk menilai terjadi atau tidaknya kekerasan seksual.
“Persetujuan dua belah pihak dalam melakukan hubungan seksual harus ditautkan dalam aturan resmi, baik secara norma hukum negara, maupun agama, sehingga kekuatan hukum yang mengikat. Jangan sampai persetujuan itu dikembalikan kepada masing-masing individu karena bisa jadi saat menyatakan konsesual hal itu tidak benar-benar menjadi konsesus,” sambungnya.
Kendati demikian, Anggota DPR Fraksi PKB ini meminta agar semua pihak melihat semangat di balik pembentukan Permendikbud 30 tahun 2021 ini.
Syaiful menyampaikan jika Permendikbud ini dikeluarkan dengan tujuan mencegah bertambahnya jumlah korban kekerasan seksual di lingkungan pendidikan, khususnya di Perguruan Tinggi.
“Lahirnya Permendikbud 30/2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di kampus harus dilihat dari bagian upaya untuk mencegah lebih banyaknya korban kekerasan seksual. Harus diakui jika saat ini banyak sekali korban kekerasan seksual di lingkungan kampus yang membutuhkan perlindungan hukum,” tutur Syaiful.
“Untuk pencegahan kekerasan seksual misalnya dalam Permendikbud 30/2021 cukup detail diatur pembatasan pertemuan civitas akademika secara individu di luar area kampus maupun di luar jam operasional kampus. Bahkan jika ada pertemuan tersebut harus ada izin dari pejabat kampus dalam hal ini ketua jurusan atau ketua program studi,” bebernya.
Selanjutnya, Syaiful menjelaskan dibentuknya Permendikbud ini juga diakibatkan maraknya kasus kekerasan seksual di kampus-kampus di Indonesia yang hingga kini terus meningkat.
Ia pun menyayangkan adanya kekerasan seksual tidak hanya terjadi di antara mahasiswa tetapi juga kerap dilakukan oleh oknum dosen maupun karyawan kampus.
“Data kekerasan kampus yang berhasil direcord terdapat 174 kasus kekerasan seksual di 79 kampus dan 29 kota. Kasus sebenarnya bisa jadi jauh lebih tinggi karena banyak kasus yang tidak dilaporkan karena korban merasa malu atau karena factor lain. Sedangkan secara umum korban kekerasan seksual berdasarkan catatan dari Komnas Perempuan dari tahun 2017-2019, kasus kekerasan seksual di Indonesia mencapai 17.940 yang artinya terdapat 16 korban mengalami kekerasan seksual setiap harinya,” pungkasnya.