Terkini.id, Makassar – Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Makassar meminta Polri melanjutkan kasus dugaan pencabulan terhadap tiga orang anak di Kabupaten Luwu Timur (Lutim), Sulsel.
Apalagi Surat Penetapan Penghentian Penyidikan (SP3) yang diterbitkan polisi setempat dinilai banyak kejanggalan.
Menurut Ketua Divisi Perempuan Anak dan Disabilitas LBH Makassar Resky Pratiwi, dalam proses penanganan perkara ini, polisi terkesan terburu-buru dan mengabaikan bukti petunjuk.
Sejumlah bukti pendukung atau bukti petunjuk dalam kasus ini kata Resky telah diserahkan LBH Makassar pada penyidik.
Sebagai contoh, penyidik mengaku tak menemukan tanda-tanda kekerasan pada alat vital korban sehingga menjadi salah satu dasar penyidik tidak lagi melanjutkan kasus ini.
“Semua proses itu berlangsung sangat cepat jadi kami menganggap kalau misalnya penyidik atau polisi menyatakan bahwa tidak cukup bukti yang ada, yah karena memang sangat cepat dan tidak digali baik-baik,” ujar Resky.
Dengan begitu, Resky menganggap kasus ini sudah sangat layak untuk kembali dibuka.
“Kalau memang dianggap tidak cukup bukti, buka dulu perkaranya, dikumpulkan baik-baik buktinya dan kami juga sudah memasukkan dokumen untuk mendukung argumentasi kami di Polda Sulsel saat gelar perkara, Maret 2020 lalu,” sebutnya.
Dalam kasus ini juga, LBH Makassar menganggap, ada upaya penyidik untuk mendelegitimasi pelapor dalam hal ini ibu korban. Pasalnya, sang ibu diperiksakan kejiwaan ke psikiater dalam waktu yang singkat.
“Proses yang dilakukan psikiater di Luwu Timur pada saat proses penyelidikan itu sangat singkat, hanya 15 menit, tau-tau dinyatakan punya waham (ada penyakit),” kata Resky.
Diagnosa Kekerasan Anak Pada Korban, Resky juga mengingatkan bukti petunjuk lainnya yang diabaikan, seperti diagnosa kekerasan anak dan kesakitan pada dubur dan vagina korban.
“Jadi gini, setelah anak-anak mengeluhkan sakit itu ibu korban meminta rujukan untuk pengobatan di salah satu dokter. Nah dokter ini, di dalam rujukan itu ada diagnosa tentang child abuse dan diagnosa sakit pada vagina dan dubur. Itu sempat ditunjukkan juga di Polda Sulsel tapi diabaikan,” terangnya.
Diagnosa tersebut, kata dia, menjadi alasan tim penasehat hukum meragukan dua visum yang sudah dilakukan sebelumya.
Menurutnya, bisa saja luka itu telah sembuh dan hilang. Apalagi saat visum terhadap korban dilakukan belum ada bantuan hukum yang masuk untuk pihak korban.
“Kami ada foto-foto yang diambil di sekitar bulan Oktober 2019 yang jelas menunjukkan merah,” bebernya.
LBH Makassar selama ini telah bersurat ke Mabes Polri, Komnas Perempuan dan Ombudsman. Untuk Komnas Perempuan sendiri, telah mengeluarkan rekomendasi agar kasus ini dibuka kembali pada tanggal 22 September 2020.
“Komnas Perempuan merekomendasikan (Polri) buka kembali dan mengambil alih penyelidikannya (dari Polres Luwu Timur ke Polda Sulsel),” kuncinya.
Dapatkan update berita terkini setiap hari dari Terkini.id. Mari bergabung di Saluran Whatsapp "Terkinidotid", caranya klik link https://whatsapp.com/channel/terkinidotid, kemudian klik ikuti.