PADA masa kampanye untuk pemilihan walikota Parepare tahun 2018, petahana saat itu yaitu Dr. Taufan Pawe mengeluarkan jargon untuk mewujudkan kota Parepare sebagai “Kota Industri Tanpa Cerobong Asap”.
Beliau mengatakan bahwa ia ingin membangun kota Parepare sebagai sebuah kota yang minim pencemaran lingkungan dengan berpusat pada pembangunan di 3 sektor jasa pelayanan, yaitu kesehatan, pendidikan, dan pariwisata (sindonews, 2018). Ketika beliau terpilih untuk kedua kalinya, konsep tersebut kemudian dituangkan pada RPJMD (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah) pada tahun 2019 (pareparekota, 2019).
Pengembangan konsep Kota Industri Tanpa Cerobong Asap ini pada dasarnya merupakan inovasi untuk memaksimalkan potensi kota Parepare yang minim Sumber Daya Alam (SDA).
Disini terdapat usaha untuk merubah masyarakat melalui ide-ide dan hal-hal baru, dalam hal ini mentransformasikan kota Parepare menjadi kota penyedia layanan terkemuka dibidang pendidikan, kesehatan, dan pariwisata, serta merubah masyarakatnya menjadi masyarakat yang mampu menunjang sektor layanan tersebut.
Konsep pembangunan ini sendiri merupakan implementasi dari teori telapak kaki yang beliau cetuskan, dimana teori ini menjelaskan tentang pengaruh telapak kaki BJ. Habibie, yang kemudian mengundang telapak-telapak kaki yang lain untuk datang ke kota Parepare.
Telapak kaki disini dapat dipandang sebagai pijakan kaki, dimana filosofinya merujuk pada kehadiran seseorang di suatu tempat tertentu yang kemudian meninggalkan jejak. Disisi lain, konsep ini juga bermakna bahwa untuk pembangunan dikota Parepare mutlak merupakan pembangunan yang bertujuan untuk menghadirkan sebanyak mungkin “telapak kaki” (orang-orang).
Untuk mewujudkannya, maka langkah awal yang beliau tempuh adalah dengan mencanangkan pembangunan Rumah Sakit Regional Asri Ainun Habibie dan mendirikan kampus Institut Teknologi BJ Habibie (ITH).
Tentu saja, keinginan tersebut mengundang pro dan kontra dikalangan masyarakat. Seperti yang dikatakan oleh Rogers dan Shoemaker (1971), jika pesan-pesan yang disampaikan itu menyangkut hal-hal yang dianggap baru, maka di pihak penerima akan timbul suatu derajat resiko tertentu yang menyebabkan perilaku berbeda pada penerima pesan, atau dengan kata lain akan timbul tantangan dan hambatan.
Hambatan tersebut dapat berasal dari dalam, seperti misalnya aparat pemerintah yang tidak paham mengenai proses pembangunan, maupun dari pihak luar atau masyarakat yang tidak sejalan dengan pandangan pemerintah dalam merumuskan pembangunan. Selain itu, terdapat pula tantangan yang bersifat force majeure, yaitu pandemi COVID-19 pada tahun 2019, yang kemudian memaksa seluruh pemerintah daerah di Indonesia untuk melakukan refocusing anggaran.
Pengalihan anggaran untuk penanganan pandemi menyebabkan proses pembangunan di kota Parepare menjadi terhambat, dan mempengaruhi keberlangsungan pembangunan RS dan kampus tersebut. Hal tersebut menambah polemik pro dan kontra pada masyarakat, yang berujung pada unjuk rasa yang dilakukan oleh beberapa LSM.
Namun seiring berjalannya waktu, formulasi kebijakan pembangunan tersebut mulai menampakkan hasil. Pada tahun 2020 RS Regional Hasri Ainun mulai beroperasi, dan tahun berikutnya kampus ITH pun mulai menerima pendaftaran mahasiswa pertamanya.
Tidak hanya itu, walikota Parepare tersebut pun memugar pasar Sumpang Minangae dan Taman jompie, membangun anjungan Cempae dan Tonrangeng Riverside, hingga mendirikan patung Habibie Ainun di lapangan Andi Makkasau.
Namun, dari berbagai bentuk inovasi yang beliau lakukan untuk pembangunan kota Parepare, yang saat ini paling menonjol adalah keberhasilannya membawa klub sepakbola PSM untuk menjadikan stadion Gelora BJ Habibie sebagai markas tempat mereka bertanding pada pertandingan kandang (home).
Ada bermacam keuntungan yang dapat diperoleh dengan bermarkasnya PSM di kota Parepare.
Fanatisme suporter PSM yang amat terkenal membuat mereka akan berusaha sekuat tenaga untuk dapat menonton langsung tim kesayangan mereka bertanding, terlebih dengan euforia pasca meredanya wabah COVID-19 yang memungkinkan mereka melakukan aktifitas outdoor dengan lebih leluasa.
Dengan demikian, dari segi pendapatan daerah, potongan 10 persen dari tiap lembar tiket pertandingan yang terjual akan sangat bernilai ekonomi. Sebagai contoh, dari 1 miliar tiket yang terjual pada pertandingan PSM melawan Bali United misalnya, pemkot Parepare mendapatkan 100 juta rupiah.
Ini diluar pendapatan lain seperti dari sewa stadion maupun parkir kendaraan. Masyarakat disekitar stadion tersebut juga mendapatkan keuntungan dari penjualan makanan dan minuman maupun penyewaan parkir, kemudian penginapan dan UMKM lainnya juga ikut menikmati kehadiran suporter PSM.
Bahkan suporter PSM yang berdomisili di daerah lain pun turut menikmati kemudahan dalam menonton pertandingan PSM, karena letak kota Parepare yang memungkinkan hingga bahkan suporter dari Sulawesi Barat untuk menghadiri langsung pertandingan PSM di stadion Gelora BJ Habibie.
Multiplier effect atau pengaruh yang meluas yang ditimbulkan oleh suatu kegiatan ekonomi, dalam hal ini bermarkasnya PSM di kota Parepare, tidak terhenti sampai disitu saja. Liputan pertandingan PSM yang disiarkan oleh stasiun TV akan membuat nama kota Parepare menggaung pada tingkat nasional, dan hal ini dapat dimanfaatkan untuk semakin memperkenalkan potensi kota Parepare pada daerah lain, seperti misalnya wisata alam Taman jompie, Pantai Tonrangeng dan Pantai Lumpue, Pantai Paputo, hingga air terjun Tompangnge, yang keseluruhannya memiliki spot-spot instagramable yang cocok dikunjungi para wisatawan.
Selain itu, liputan ini dapat juga dimanfaatkan untuk mendorong publikasi produk-produk UMKM-UMKM yang berada di kota Parepare, sehingga dapat menjadi sarana inkubator bisnis terpadu.
Kemampuan Taufan Pawe dalam melihat kesempatan membuktikan bahwa selain memiliki konsistensi terhadap visi pembangunan yang ia cetuskan, juga memperlihatkan bagaimana ia memiliki intuisi politik yang diatas rata-rata politisi biasa. Keberhasilan walikota Parepare ini dalam menggaet PSM bukan hanya memiliki dampak ekonomi yang signifikan terhadap kota Parepare, namun juga dapat berdampak positif terhadap citra politik yang dibangunnya.
Liputan TV nasional kemudian bukan hanya memperkenalkan kota Parepare, tetapi juga walikota Parepare sebagai arsitek dibelakang berbagai kemajuan yang dialami, sehingga memberikan publikasi ke daerah-daerah lain yang masyarakatnya belum terlalu mengetahui mengenai walikota Parepare tersebut.
Sebab salah satu kendala yang dihadapi oleh pemimpin daerah kebanyakan adalah kurangnya publikasi mereka di daerah-daerah lainnya, sehingga kadang membutuhkan biaya yang cukup besar untuk mempromosikan diri mereka.
Ia kemudian juga berpeluang menjadi trend setter bagi pemimpin-pemimpin daerah lainnya di Sulawesi Selatan, dan menaikkan posisi bargaining yang dimilikinya, baik secara internal partai maupun eksternal, sebagai modal untuk melakukan konsolidasi politik.
Sedangkan pada publik Parepare sendiri, hal tersebut dapat menjadi sebuah pembuktian terhadap masyarakat mengenai kejelian visi misi yang ia miliki, sehingga dapat meredam ketidak-percayaan terhadapnya. Seperti yang disebutkan dalam peribahasa “to kill two birds with one stone”, yaitu bagaimana menyelesaikan 2 persoalan dengan 1 cara, kini sang walikota perlu menjaga momentum politik ini, atau jika mampu, memperluas riaknya, sehingga dapat mengantarnya ke target yang diinginkan, yaitu menghadirkan “telapak kaki” ini didarah-daerah lain di Sulawesi Selatan.
—
Aditya Putra (Mahasiswa Program Doktor Jurusan Ilmu Komunikasi Unhas)