Terkini.id, Jakarta – Aksi Jokowi yang marah-marah di depan menterinya, dan menuding para pembantunya itu tidak punya ‘sense of crisis’ dianggap sebagai aksi teatrikal saja.
Seperti diketahui, Jokowi sebelumnya berpidato di Sidang Paripurna pada 18 Juni lalu, dan menyampaikan sikap geram atas kinerja para menterinya yang tidak optimal.
Kegeraman tersebut akibat berbagai laporan seperti penyerapan anggaran kementerian kesehatan untuk penanganan covid-19 yang lambat, termasuk bantuan untuk UMKM yang belum tersalur dengan maksimal.
Aksi Jokowi itu pun dinilai sebagai tindakan yang dilakukan dengan sengaja lewat video untuk diungkap ke publik.
Peneliti Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Arya Fernandes mengaku kurang memahami alasan Istana baru mempublikasikan video tersebut 10 hari setelah kejadian.
- Ini Laporan Keuangan Bank Sulselbar Bulan Desember 2022 dan Bulan Juni 2023
- MAN Jeneponto Raih Juara III Lomba MSQ Alkali Content 2023
- Apel Siaga Pemenangan, PKS Sulsel Siap Hadirkan Ribuan Anggota Sambut Kedatangan Anies
- Pakar Sebut Yasir Machmud Politisi Muda Bernyali Besar
- Sebelum Diamankan, DPO Korupsi Sembunyi di Atas Plafon Rumah Selama 9 Jam
Namun, menurut dia, persoalan itu seharusnya tak disampaikan ke publik dan cukup diselesaikan secara internal.
“Ini kan seperti Istana ingin melempar persoalan dapur mereka ke publik. Ini kan soal-soal kinerja menteri semua itu, presiden menyampaikan secara emosional kemarahannya kan ini soal dapur Istana,” terang Arya seperti dikutip dari kompascom.
Made Supriatma, Peneliti dan jurnalis lepas yang saat ini bekerja sebagai visiting research dellow pada ISEAS-Yusof menilai, aksi Jokowi yang murka itu lebih menjadi alat politik dan teatrikal saja.
“Mungkin banyak orang tidak sadar bahwa kemurkaan dan kemarahan seorang pejabat di depan umum adalah alat politik yang ampuh. Agak lama saya memendam pikiran dan pengamatan saya ini. Makin hari, makin jelas bagi saya apa fungsi kemarahan itu,” tulis Made dalam tulisan opininya yang dimuat tirto.id.
Menurut dia, hal itu seperti tindakan Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok menjadi Gubernur DKI. “Dalam periode 2,5 tahun pemerintahannya, Ahok menjadikan marah-marah di depan umum sebagai salah satu kekuatannya,” terangnya.
Menurut Made, kemarahan itu teatrikal. “Dan karena itu lebih mirip seperti performance art (seni pertunjukan). Apalagi kemudian murkanya sang pejabat publik disebarluaskan lewat media. Jangkauannya menjadi semakin luas,” tambahnya lagi.
Beberapa alasannya adalah mengapa Jokowi harus mempublikasikan itu ke ruang publik? mengapa tidak di ruang pribadi saja?
“Tentu saja, kemarahan tersebut tidak dilakukan secara pribadi dan di ruang pribadi. Bukan itu poinnya. Kemarahan-kemarahan ini harus diluapkan di ruang publik, disiarkan, supaya semua orang tahu. Pengumuman ini menjadi aspek penting dari kemarahan-kemarahan ini. Itulah sebabnya ia menjadi teatrikal. Itulah juga sebabnya ia menjadi semacam performance art,” tambahnya lagi.
Jokowi seolah ingin menyampaikan pesan kepada para pendukungnya, bahwa kemarahan presiden ini sekaligus memperlihatkan bahwa presiden tersandera oleh kepentingan-kepentingan besar yang tidak bisa dia kontrol.
“Argumennya, Jokowi adalah orang baik. Akan tetapi, dia selalu diganggu oleh partai-partai dan para pembencinya. Pemikiran seperti ini sesungguhnya ganjil karena tidak seorang memilih presiden untuk menyerah, bukan?” tulisnya lagi.
“Dengan kemarahannya itu, Jokowi menunjukkan dia bukan bagian dari kabinet yang disusunnya sendiri. Logika yang aneh. Namun pendukungnya hanya membutuhkan dia tetap “suci” dan tidak tercemar dari inkompentensi kabinetnya.
Kemarahan ini mungkin bisa membangkitkan moral pendukung Jokowi. Tapi, apakah dia akan memperbaiki respons pemerintah menangani krisis COVID-19?” tutupnya.