PENJAJAHAN pikiran jauh lebih berbahaya dari penjajahan fisik. Begitu klaim utama para pemikir poskolonial, atau yang lazim juga kita sebut sebagai pemikir poskolonial. Manusia manusia pascakolonial akan merasa dirinya benar dan merdeka, padahal sesungguhnya masihlah berada pada bayang- bayang ‘mantan’ penjajahnya.
Manusia pascakolonial pun, lazimnya dijangkiti suatu penyakit psikologis yang disebut ‘inferior kompleks’. Ketidakpercayaan tingkat dewa. Sebut saja senangnya ber-Eropa-Eropa atau ber-Korea- Korea dibanding bertradisi-tradisi. Inferior kompleks adalah bentuk ketidakpercayaan pada diri dan kemampuan sendiri. Termasuk ke tidak percayaan kepada sesama anak bangsa sendiri, bisa jadi.
Penyakit yang paling mematikan lagi adalah ‘justifikasi diri’. Justifikasi diri terjadi dengan menganggap diri si bekas jajahan sebagaimana yang (pernah) ditempelkan oleh bekas/mantan penjajah.
‘Apalah kita ini, kita ini memang malas dasarnya, jadinya begini.’
‘Memang bubuhan Timur ini, sumbunya pendek, taunya berkelahi saja.’
Dan seterusnya, dan seterusnya.
Kenaifan seperti cap ‘malas’ dan ‘bersumbu pendek’ adalah konstruksi kolonial. Si bekas penjajah ini menempelkannya kepada ‘pribumi’ (native) atau penduduk asli karena telah menguasai ‘struktur’ dan ‘sistem’ terlebih dahulu dengan senjata. Sehingga, potensi perlawanan selanjutnya dimatikan dengan proses pemapanan ‘label atau cap’ pada si terjajah atau jajahan. Jadilah si terjajah atau bekas jajahan ini sibuk dengan kesinisan sesamanya. Kita lebih sering mengenalnya pula dengan nama ‘politik belah bambu’.
‘Divide et empera’ (membelah untuk menguasai) yang lazim kita sebut politik belah bambu ini salah satunya dimudahkan dengan cap kali cap plus labeling kepada jajahan atau pribumi. Manusia- manusia pascakolonial ini, hidup dengan label- label di jidatnya masing-masing. Belum lagi di pikiran kepalanya masing-masing, tertanam inferioritas dan kecurigaan kepada sesama.
Prasangka (prejudice) dan stereotip tertancap dalam – dalam di dada dan kepala. Jadilah manusia manusia pascakolonial ini berjalan sempoyongan, tidak tegak, dan berat beban kehidupannya. Menjalani hidup penuh beban dan tidak tenang. Cara berpikir dipenuhi dengan anasir – anasir lama warisan mantan penjajah. Sulit untuk keluar darinya, apatahlagi ketika upaya ‘dekolonisasi pikiran’ tidak dijalankan secara terstruktur, sistematis, dan massif.
Satu lagi penyakit psikologis bekas jajahan adalah sifat oportunis. “Menjilat ke atas, menindas ke bawah”. Cari aman sendiri, dan tidak peduli dengan nasib orang lain. Barangkali saking lamanya menderita, maka dendam dengan kemiskinan. Jadilah segala cara dihalalkan. Filosofi kepiting dalam baskom juga pas untuk ini. Ketika temannya sudah hendak sampai ke puncak, maka ditarikanya untuk turun ke bawah. Tidak senang melihat sesamanya berhasil. Sesungguhnya sifat ini lahir karena kelangkaan kekayaan/sumber daya karena direbut penjajah. Maka, jalan keluarnya adalah rebut bersama kekayaan itu dari penjajah, bukan malah sikut sikutan dengan sesama.
***
Pikiran manusia pascakolonial mantan jajahan ini mesti dibersihkan dari ‘inferioritas, prasangka, stereotip, sikap oportunis. Ketiganya adalah bikinan mantan penjajah yang masih membayangi sekarang ini. Jika ketiganya sudah bersih, cara berpikir ‘naif’ dengan menyalahkan orang, tanpa membidik struktur, sistem, regulasi, dan kebijakan juga harus dibereskan.
Berhentilah menyalahkan orang yang sudah terang benderang dikekang struktur dan sistem. Bebaskan mereka dari jebakan itu jika tak ingin cap cap naif itu hilang. Selain menyesakkan hati, juga menunjukkan kedangkalan berpikir. Bergelar sarjana sampai doktor dan profesor sekalipun, lulusan luar negeri atau kampus biasa. kenaifan berpikir adalah penyakit lintas arena. Tidak peduli siapa dia. Obatnya hanya cara berpikir kritis kata Paulo Freire dan eksponen Mazhab Frankfurt.
Pada akhirnya, menjadi manusia-manusia pascakolonial memang berat. Di bagian ini, Dilan dan Milea salah besar, bahkan tidak ada apa-apanya.
Manusia pascakolonial harus membereskan dua hal. Pertama, dirinya yang ditancapi anasir-anasir kolonial berupa inferioritas, prasangka, stereotip, dan sikap oportunis. Kedua, struktur dan sistem, regulasi dan kebijakan yang menguasai kekayaan atau sumber daya. Struktur dan sistem
Menjadi superego. Diri dan superego berupa struktur dan sistem ini menjadi penentu kesadaran dan sifat-sifat manusia pascakolonial di atas.
INFERIORITAS, PRASANGKA, STEREOTIP, dan SIKAP OPORTUNIS lahir karena Sumber daya dikuasai penjajah. Manusia manusia pascakolonial ini tak punya apa apa. Struktur dan sistem sosial menjadikannya kaum papa di negeri sendiri. Dengan demikian, kesadaran dan kesabaran penting, akan tetapi kesabaran dan kesadaran itu dalam rangka menghilangkan penyakit penyakit psikologis tersebut, plus mengarahkan sumber masalah kepada struktur dan sistem dominan yang membuat kekayaan dan sumber daya yang melimpah tidak terbagi secara adil dan merata kepada masyarakat banyak, kepada manusia manusia pascakolonial.
Samarinda, 3 Oktober 2019
–
Nasrullah Mappatang adalah Penulis dan Dosen Universitas Mulawarman