Politik adalah nilai dan di dalamnya terkandung kebenaran, itulah yang termuat di dalam berbagai kebijakan, apakah Undang-undang, Peraturan Pemerintah dan turunannya ke bawah.
Nilai itu termaktub juga di dalam etika yang dalam dunia politik kedua-duanya digunakan untuk mengatur, mengendalikan serta menuntun perilaku manusia dalam merebut dan mempertahankan kekuasaan, mengurus negara dan melaksanakan tata kelola pemerintahan yang baik.
Kalau politik itu nilai, artinya politik itu kebenaran dan inilah yang dipelajari di lembaga-lembaga pendidikan seperti perguruan tinggi, khususnya di dalam rumpun ilmu Sosial dan politik.
Jadi orang yang belajar ilmu politik adalah mereka yang mempelajari kebenaran, bagaimana kekuasaan dikelola secara benar, bagaimana pemerintahan dilaksanakan dengan baik dan bagaimana mendapatkan kekuasaan dengan cara-cara yang benar pula.
Politik sebagai sebuah nilai, orientasinya lebih kepada ide, gagasan, bisa berwujud (tengible) bisa juga tidak berwujud (intangible), dua-duanya mengandung kebenaran, tentu dalam ragam perspektif.
- Hari Pelaksanaan MNEK 2023, Berikut Sejumlah Ruas Jalan di Makassar yang Ditutup
- Bersama KSAL Laksamana Muhammad Ali, Wali Kota Makassar Mantapkan Pembukaan MNEK 2023
- Viral, Pelanggan Sebut Telkomsel Perampok: Ganti Nomor Tanpa Konfirmasi
- Terlibat Dalam Kasus Penipuan, Jessica Iskandar Minta Tolong ke Presiden Jokowi
- Denny Indrayana Ungkap Pernah Bicara Soal Anies Baswedan Dengan Menko Polhukam Mahfud MD
Sejatinya politik sebagai sebuah nilai, juga sekaligus sebagai fakta, artinya nilai-nilai kebenaran yang etis dan bermoral juga terpancar dalam realitas politik. Namun kenyataannya tidaklah demikian, politik sebagai sebuah fakta acapkali dimaknai sebagai kekuatan, kemenangan, dan bahkan kecurangan.
Fakta politik, betapapun juga sudah terkontaminasi dengan berbagai keinginan, harapan dan kepentingan yang bisa objektif dan bisa pula subjektif, tergantung pada manusianya yang dalam konteks Pilpres, pilkada dan pemilihan legislatif sangat tergantung pada hasrat berbasis kepentingan peribadi dan golongan dan dalam konteks internasional tergantung kepada kepentingan nasional masing-masing negara.
Pilkada Serentak
Pilkada serentak akhirnya semakin jelas pelaksanaannya dimana sebelumnya masih samar-samar, apakah dilaksanakan, diundur atau seperti apa kebijakannya di tengah pandemi covid 19.
Pilkada serentak pada akhirnya akan dilaksanakan pada desember 2020 di 270 daerah dengan rincian 9 provinsi, 224 kabupaten dan 27 kota.
Pilkada serentak ini dilaksanakan di daerah yang masa jabatannya berakhir 2021 dan tentu ini merupakan bagian dari upaya memilih pemimpin di daerah sebagai bagian dari pelaksanaan otonomi daerah dan pelaksanaan azas desentralisasi seperti tertuang di dalam UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang pemerintahan daerah selanjutnya secara tehnis diatur di dalam Perpu Nomor 2 Tahun 2020 tentang Pilkada serentak Tahun 2020.
Pilkada serentak atau apapun namanya, di dalamnya terkandung nilai yang tertuang di dalam Undang-undang, peraturan Pemerintah dan tentu saja termaktub pula etika yang bersumber dari nilai-nilai luhur dan nilai-nilai kearifan lokal yang menuntun dan mengendalikan, baik penyelenggara, maupun peserta pilkada dan masyarakat secara umum.
Kalau nilai-nilai ini dilaksanakan dengan baik, maka pastilah akan melahirkan pemimpin yang baik, sesuai dengan harapan dan keinginan masyarakat.
Namun sebaliknya jika pilkada dilaksanakan tanpa nilai pastilah akan melahirkan pemimpin yang jauh dari eskpektasi masyarakat.
Selama ini beberapa pilkada dilaksanakan tanpa nilai dan akibatnya terjadi manipulasi politik, money politik, mobilitasi poltik dan mereka yang jadi pemenang meskipun memperoleh suara terbanyak tetapi acapkali memdapat protes dan tidak sedikit dinatara mereka yang diajukan ke Mahkamah Konstitusi dan kalah.
Nilai dan Fakta
Sepanjang nilai-nilai itu dilaksanakan dengan baik, saat proses pemilihan, pelaksanaan pemilihan, hasil pemilihan dan saat visi misi itu dilaksanakan pastilah tujuan pilkada itu sendiri akan berhasil. Namun fakta seringkali bertentangan dengan nilai.
Proses rekrutmen misalnya, mulai saat penjaringan calon oleh partai politik sampai penetapan calon dan diusung menjadi peserta, disitu seringkali diwarnai oleh persaingan yang ketat dan untuk menang dalam persaingan itu tidak sedikit diantara mereka menggunakan cara-cara tidak terhormat, misalnya menyerahkan sejumlah besar uang yang sering disebut mahar politik.
Selanjutnya ketika pelaksanaan pemilihan dilakukan, tidak sedikit juga calon membagi-bagaikan uang atau barang kepada calon pemilih yang kalau dijumlahkan sama atau bahkan melebihi dari mahar politik.
Mahalnya biaya menjadi pemimpin di daerah diperparah lagi ongkos politik lain, misalnya membayar jasa konsultan, broker politik dan tim sukses lainnya.
Berapa jumlah uang yang dibutuhkan oleh kandidat, tentu saja beragam, tetapi secara logika dan pengalaman di lapangan menunjukkan bahwa semakin calon itu tidak populer, elektabilitasnya rendah, kinerjanya buruk, maka uang yang mereka akan keluarkan semakin besar, sebab mereka ingin menutup kekurangannya melalui money politic untuk suara-suara haram, terutama pada masyarakat miskin dan tak berdaya.
Ini adalah fakta politik dan sebuh realitas sosial yang sejak lama tumbuh dan berkembang di daerah, terutama saat dimulainya pemilihan langsung (inderect election) .
Value and fact memang seperti minyak dan air, sulit menyatu, ia ada di idea, angan dan harapan, nyaris tidak ada dalam realitas dan dimasa pandemi covid 19 ini kelihatannya semakin sulit lagi menyatu sebab jumlah penganggur dan kaum miskin yang akan memilih semakin tinggi dan etika dan moral kaum politisi semakin menipis.
Namun demikian kita tetap berharap bahwa Value and fact ini kedepan semakin tipis perbedaanya dan melalui pilkada serentak tahun ini akan menghasilkan pemimpin daerah yang berkualitas, amanah dan jujur, semoga.
Amir Muhiddin
Dosen Pemerintahan Fisip Unismuh Makassar