Tekan Anggaran Ekonomi, Simak Kenaikan Harga Batu bara, Gas dan Minyak
Komentar

Tekan Anggaran Ekonomi, Simak Kenaikan Harga Batu bara, Gas dan Minyak

Komentar

Terkini.id, Jakarta – Harga minyak AS saat ini berakhir di atas US$ 80 atau sekitar Rp 1,1 juta per barel pada Senin 11 Oktober kemarin. Harga minyak ini merupakan yang tertinggi hampir tujuh tahun terakhir.

Jika harga bensin naik, hal ini hanya akan memperburuk inflasi yang meningkat dan menekan anggaran pengeluaran setiap orang di Amerika

Krisis energi saat ini tak hanya membuat harga minyak mentah yang naik, harga gas alam juga meroket begitu banyak, terutama di Eropa dan Asia.

Di Eropa, harga gas alam telah naik dari di bawah US$ 2 per juta BTU atau sekitar Rp 28.600 pada tahun lalu, menjadi US$ 55 atau sekitar Rp 786.500 pada musim gugur ini

Di Eropa sendiri gas alam sering digunakan sebagai salah satu sumber pembangkit listrik. Oleh karena itu, bila hal ini terus berlanjut, tentu akan ada banyak warga di Eropa yang akan mengalami kekurangan pasokan listrik.

DPRD Kota Makassar 2023

Tidak berhenti di sana, saat ini harga batu bara di China juga telah mengalami kenaikan yang cukup drastis. Harga batu bara di Tiongkok ini telah mencapai rekor tertinggi setelah banjir melanda China bagian utara, yang membuat puluhan tambang batu bara ditutup.

Dilansir dari CNN, Selasa 12 Oktober 2021, harga minyak mentah telah naik 1,5% ke level US$ 80,52 atau sekitar Rp 1,15 juta (bila dihitung dengan kurs Rp 14.300/dolar AS).

Terakhir kali harga minyak mentah di atas US$ 80 adalah pada 31 Oktober 2014. Kenaikan harga minyak mentah ini tentu akan mempengaruhi harga bensin di Amerika Serikat.

Mengutip dari Detik padahal di China sendiri, batu bara merupakan sumber utama yang digunakan untuk pemanas, pembangkit listrik, dan pembuatan baja.

Karenanya China sekarang tengah bergulat dengan kekurangan listrik, mendorong pemerintah untuk menjatah listrik selama jam sibuk dan beberapa wilayah untuk menangguhkan produksi.

“Kita mungkin hanya satu ‘badai’ jauhnya dari ‘badai’ (ekonomi) makro berikutnya,” tulis ahli strategi Bank of America dalam catatan baru-baru ini kepada klien.