Terkini.id, Jakarta – Jaksa Agung, ST Burhanuddin meminta jajarannya untuk mengkaji hukuman mati bagi pelaku perkara tindak pidana korupsi.
Pernyataan ini disampaikan langsung oleh Jaksa Agung saat memberikan briefing kepada Kajati, Wakajati, para Kajari dan Kacabjari, di Kalimantan Tengah, pada Kamis 28 Oktober 2021.
“Sedang mengkaji kemungkinan penerapan hukuman mati guna memberikan rasa keadilan dalam penuntutan perkara dimaksud,” ucap Burhanuddin dalam keterangan tertulis.
Dilansir dari liputan6.com, Kamis 4 November 2021, Burhanuddin juga menambahkan jika kajian tersebut harus tetap mempertimbangkan dan memperhatikan hukum positif yang berlaku serta nilai-nilai hak asasi manusia (HAM).
Disamping itu, Burhanuddin mengatakan ada kemungkinan konstruksi lain yang akan dilakukan. Misal memastikan perampasan terhadap harta kekayaan para pelaku korupsi demi menggantikan kerugian negara.
- Inspeksi Pimpinan di Kejati Sulsel, Jaksa Agung Muda Ajak Pegawai Bangun Kepedulian Terhadap Institusi
- Kasus Penyebaran Berita Bohong Rocky Gerung Naik Penyidikan
- Jaksa Agung RI Isi Kuliah Umum di Fakultas Hukum Unhas
- Heboh, Pelaku Pemerkosaan Anak Divonis 10 Bulan, Hotman Paris Angkat Suara
- Soroti Kasus Paniai Divonis Bebas, Komnas HAM Minta Jaksa Agung Segera Bertindak
“Agar hasil rampasan juga dapat bermanfaat langsung dan adanya kepastian baik terhadap kepentingan pemerintah maupun masyarakat yang terdampak korban dari kejahatan korupsi,” tutur Burhanuddin.
Adapun terkait kajian hukuman mati itu disampaikan Burhanuddin, menyusul perkara tindak pidana korupsi yang ditangani Kejaksaan Agung merugikan negara puluhan triliun rupiah. Sebut saja kasus Jiwasraya dan Asabri.
“Sangat memprihatinkan kita bersama dimana tidak hanya menimbulkan kerugian negara (kasus Jiwasraya Rp 16,8 triliun dan Asabri Rp 22,78 triliun) namun sangat berdampak luas baik kepada masyarakat maupun para prajurit,” sambungnya.
Ia menilai bahwa perkara Jiwasraya telah menyangkut hak-hak orang banyak dan hak-hak pegawai dalam jaminan sosial, sama halnya dengan perkara korupsi di ASABRI terkait dengan hak-hak seluruh prajurit di mana ada harapan besar untuk masa pensiun dan masa depan keluarga mereka di hari tua.
Peneliti dari Indonesia Corruption Watch (ICW) Kurnia Ramadhana menjabarkan jika hukuman mati bagi pelaku korupsi sering kali dijadikan jargon politik bagi sejumlah pihak, untuk memperlihatkan kepada masyarakat keberpihakannya terhadap pemberantasan korupsi.
“Padahal, kalau kita berkaca pada kualitas penegakan hukum yang mereka lakukan, hasilnya masih buruk. Jadi, apa yang diutarakan tidak sinkron dengan realita yang terjadi,” kata Kurnia.
Menurutnya, hal itu bisa dianalisis dari dua hal. Pertama, apakah hukuman mati adalah jenis pemidanaan yang paling efektif untuk memberikan efek jera kepada koruptor sekaligus menekan angka korupsi di Indonesia?
“Bagi ICW, pemberian efek jera akan terjadi jika diikuti dengan kombinasi hukuman badan dan pemiskinan koruptor, mulai dari pemidanaan penjara, pengenaan denda, penjatuhan hukuman uang pengganti, dan pencabutan hak politik. Bukan dengan menghukum mati para koruptor,” ungkap Kurnia.
Yang kedua, apakah kualitas penegakan hukum oleh aparat penegak hukum sudah menggambarkan situasi yang ideal untuk memberikan efek jera kepada koruptor?
“Faktanya, belum, bahkan, masih banyak hal yang harus diperbaiki,” tuturnya.
Ditujukan kepada Kejaksaan Agung, Kurnia mengatakan bahwa masyarakat tentu masih ingat bagaimana buruknya kualitas penegakan hukum di Korps Adhayksa ketika menangani perkara yang melibatkan oknum internalnya, misalnya, Pinangki Sirna Malasari.
“Saat itu, Kejaksaan Agung menuntut Pinangki dengan hukuman yang sangat rendah. Dari sana saja, masyarakat dapat mengukur bahwa Jaksa Agung saat ini tidak memiliki komitmen untuk memberantas korupsi,” jelasnya.
Selain itu, menurut Kurnia, di lembaga kekuasaan kehakiman, terjadi fenomena diskon untuk hukuman bagi para koruptor masih sering terjadi.
Dalam catatan ICW, hukuman penjara saja masih berada pada titik terendah, yakni rata-rata 3 tahun 1 bulan untuk tahun 2020. Sedangkan, pemulihan kerugian keuangan negara juga menjadi problematika klasik yang tak kunjung tuntas.
“Bayangkan, kerugian keuangan negara selama tahun 2020 mencapai Rp 56 triliun, akan tetapi uang penggantinya hanya Rp 19 triliun. Maka dari itu, lebih baik perbaiki saja kualitas penegakan hukum, ketimbang menyampaikan sesuatu yang sebenarnya tidak menyelesaikan permasalahan,” pungkas Kurnia.
Dapatkan update berita terkini setiap hari dari Terkini.id. Mari bergabung di Saluran Whatsapp "Terkinidotid", caranya klik link https://whatsapp.com/channel/terkinidotid, kemudian klik ikuti.