Tentang Telinga yang Terlalu Dekat

Tentang Telinga yang Terlalu Dekat

KH
Kamsah Hasan

Penulis

Terkini — Dalam dunia yang sunyi, suara adalah kekuasaan. Dalam dunia yang gaduh, kekuasaan ingin mendengar semuanya.

Kini, Kejaksaan Agung secara resmi menandatangani perjanjian kerja sama dengan empat operator telekomunikasi untuk pemasangan perangkat penyadapan. Tidak ada debat publik. Tidak ada konferensi pers terbuka. Negara tiba-tiba memiliki telinga baru yang lebih dalam dan lebih dekat ke tubuh warganya—tanpa suara langkah, tanpa ketukan pintu. Ia masuk lewat kabel dan gelombang udara.

Penyadapan yang dulunya dianggap sebagai tindakan luar biasa—hanya untuk kasus luar biasa dan dengan izin pengadilan—telah bergeser menjadi kebiasaan administratif. Di Indonesia, praktik penyadapan legal tapi belum memiliki satu pun undang-undang penyadapan yang komprehensif. Satu-satunya dasar hukum yang sering digunakan hanyalah pasal-pasal dalam UU KPK (No. 19/2019), UU ITE, dan sejumlah peraturan teknis.

Bahkan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi No. 5/PUU-VIII/2010, ditegaskan bahwa penyadapan harus dilakukan dengan landasan hukum yang jelas, terbuka, dan adil. Tapi kenyataannya? Kita belum punya kerangka itu.

Lembaga antikorupsi sudah lebih dulu melakukannya. Kepolisian juga. Sekarang kejaksaan menyusul. Tapi publik tak pernah diberi tahu: siapa yang boleh disadap? Sampai kapan? Untuk tujuan apa? Dan hasilnya akan dikirim ke mana?

Baca Juga

Kita hidup dalam negara yang mendengar segalanya, tapi enggan bicara tentang batasannya sendiri. Bayangkan seorang aktivis lingkungan di Sulawesi Selatan. Ia bukan penjahat, bukan pemilik tambang, bukan penyelundup data. Tapi suaranya nyaring soal kerusakan sungai, soal nikel yang menghitamkan air dan menutup ladang.

Ia hanya memiliki mulut dan tekad, namun kini, bahkan mulutnya pun bisa diam-diam disadap—melalui ponsel di sakunya, sinyal di atap rumahnya. Ia tak pernah tahu kapan direkam. Mungkin saat rapat jaringan aktivis. Mungkin ketika menghibur ibunya lewat panggilan. Mungkin saat mengirim puisi ke kekasihnya.

Apa yang bisa disebut privasi, jika negara punya hak menyadap tanpa prosedur jelas?

Organisasi seperti Electronic Frontier Foundation dan Privacy International menyebut penyadapan massal sebagai bentuk pengawasan yang invisible, irreversible, and normalized—tak kasat mata, tak bisa ditarik kembali, dan perlahan dianggap biasa. Ini bukan hanya soal teknologi. Ini soal kekuasaan.

Dalam demokrasi sehat, negara hanya boleh mendengar jika ia siap diawasi. Tapi di sini, yang terjadi justru sebaliknya: negara menolak diawasi saat sedang mendengarkan.

Dapatkan update berita terkini setiap hari dari Terkini.id. Mari bergabung di Saluran Whatsapp "Terkinidotid", caranya klik link https://whatsapp.com/channel/terkinidotid, kemudian klik ikuti.