Ramadan ibarat madrasah, sekolah. Di dalamnya kita berpuasa dan serangkaian amaliah lainnya.
Ibadah puasa mengajarkan banyak nilai. Mengajarkan kedisiplinan, kepedulian sosial, berbuat jujur. Berdusta bakal menghilangkan pahala puasa.
Dalam keseharian seseorang, senantiasa diperhadapkan pada tindakan, berkata jujur atau berdusta. Jujur itu kadangkala beresiko, apalagi kalau yang bersangkutan berbuat kesalahan.
Sebaliknya, berdusta itu seringkali dianggap gampang, sekalipun justru berat dengan mengarang cerita yang dapat meyakinkan agar dirinya “selamat”.
Apa yang mendorong seseorang berdusta, berkata bohong? Karena ia ingin dikatakan baik padahal ia tidak baik. Sederhananya seperti itu.
Syekh Abdul Qadir Jailani, waliullah. Beliau ungkapkan dalam kitab : Al-Fath ar-Rabbani wa al-Faydl ar-Rahmani, berisi pedoman hidup untuk menjadi kekasih Allah. Bagian awal kitab itu mengulas topik, jangan berdusta.
Jadilah orang berakal dan jangan berdusta. Seseorang yang berakal tidak akan takut celaan orang lain.
Tampaknya pesan sang wali, kini condong terabaikan. Acapkali orang demi menghindari celaan orang lain, ia berdusta. Bahkan, dengan gampang seseorang berdusta dengan niatan memberi kesan baik melalui pencitraan diri yang dikemas sedemikian rupa.
Hari-hari kita disesaki kebohongan termasuk dari teman terdekat hingga kebohongan publik. Lama-lama jadi terbiasa dibohongi. Puasa mengajarkan kita selalu jujur dan menjauhi dusta.
Sebaliknya, jujur menjadi modal sosial, kepercayaan itu mahal. Kepercayaan orang lain tergantung pada serangkaian pertemanan kita hingga tiba pada kesimpulannya, kita terpercaya.
Dalam dunia bisnis, kejujuran adalah segalanya. Sekalipun seorang ulama asal Sulsel yang kini mukim di Jakarta berucap, jangan cari kejujuran pada dunia bisnis dan politik. Karena sudah lama dua dunia itu meninggalkan kejujuran. Bisnis dan politik, dunia penuh iklan pencitraan.
Tapi, Nabi itu pebisnis sekaligus politisi. Masa mudanya berbisnis lalu masa kenabiannya membangun negara Madinah. Modal utama Nabi adalah kejujuran.
Jika ingin bisnis dan politik dipercaya, jangan sekali-kali dijalankan dengan kebohongan yang dibungkus pencitraan.
Demikian halnya setiap pribadi harus menjadikan kejujuran sebagai “pakaian sosial” agar tetap bermartabat.
Demikian diantara pelajaran yang dapat dipetik dari ibadah puasa di bulan ramadhan ini, dalam madrasah kehidupan kita sehari-hari. Semoga !
Firdaus Muhammad, Dekan Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Alauddin Makassar dan Ketua Komisi Dakwah MUI Sulsel