Ricky Vinando: Tuduhan Pembunuhan Berencana Brigadir J, Secara Hukum Lemah

Ricky Vinando: Tuduhan Pembunuhan Berencana Brigadir J, Secara Hukum Lemah

FD
Fachri Djaman

Penulis

Terkini.id, Jakarta – Praktisi hukum, Ricky Vinando ikut menanggapi soal pelaporan dugaan pembunuhan berencana dari pihak keluarga Brigadir J yang diwakili oleh kuasa hukumnya ke Bareskrim Polri.

Pelaporan terkait pembunuhan berencana tersebut berkaitan dengan kasus penembakan Brigadir J oleh Bharada E di rumah dinas Kadiv Propam Polri, Irjen Pol Ferdy Sambo.

Menanggapi pelaporan dari pihak kuasa hukum keluarga Brigadir J, Ricky Vinando menepis tuduhan yang tak masuk logika hukum tersebut.

Menurut Ricky Vinando, banyak yang tidak logis dari pernyataan kuasa hukum keluarga korban Brigadir J. Ia pun kemudian merunut kronologi kasus itu yang pernah disampaikan oleh pihak pengacara keluarga Brigadir J ke media.

“Kita runut supaya jelas. Kuasa hukum keluarga korban di salah satu media nasional menyebut ada penganiayaan di sepanjang perjalanan Magelang-Jakarta karena ada luka dibagian kepala belakang Brigadir J, dia menduga orang yang duduk di kursi tengah belakang yang melakukannya. Jarak tempuh Magelang-Jakarta 7 jam, dari Magelang-Jakarta jam 10 pagi pada 8 Juli, tiba di Jakarta perkiraan jam 17 sore, saat dihubungi jam 17, sudah tak bisa lagi dihubungi, sehingga kuasa hukum menduga perbuatan dilakukan sepanjang perjalanan Magelang-Jakarta,” ujar Ricky Vinando lewat keterangan persnya kepada media, Senin 18 Juli 2022.

Baca Juga

Lanjut Ricky, kemudian kuasa hukum menyebut TKP matinya Brigadir J kemungkinan di sepanjang perjalanan Magelang-Jakarta atau di rumah dinas Kadiv Propam Irjen Pol. Sambo. 

“Dalam LP ada Pasal 351 ayat 3 KUHPidana tentang penganiayaan mengakibatkan matinya orang lain, lalu kenapa ada juga pasal 340 KUHPidana tentang pembunuhan berencana? Apa Brigadir J memiliki 2 nyawa, jadi LP itu tak logis,” beber Ricky Vinando.

“Bagaimana logika hukumnya bilang kemungkinan mati di sepanjang jalan Magelang-Jakarta atau di rumah dinas? Kok TKP dialternatifkan? Harus jelas dan tak bisa asumsi. Saya ikuti cara berpikirnya. Kalau misal mati di sepanjang perjalanan Magelang-Jakarta, kenapa malah ada pasal 340 yang akibatnya juga mati? Jadi, tidak jelas LP yang dibuat kemarin. Satu sisi lainnya juga bicara mungkin mati di rumah dinas, lah ngapain bawa 351 ayat 3 KUHPidana yang akibatnya juga mati? Kan jadinya tidak jelas. Pasal 351 ayat 3 penganiayaan yang akibatnya mati, kemudian pasal 340 jo 338 KUHPidana akibatnya juga mati. Jadi mati 2 kali?,” tambahnya.

Ricky mempertanyakan, bagaimana logika hukumnya bisa mati untuk yang kedua kali karena 340 jo 338 setelah mati pertama karena 351 ayat 3 tadi.

Menurutnya, secara hukum tuduhan bahwa seolah ada penganiayaan sepanjang perjalanan Magelang-Jakarta menjadi sangat lemah, karena sampai saat ini belum keluar hasil otopsi oleh dokter forensik, tapi justru kuasa hukum keluarga korban Brigadir J justru telah membuat kesimpulan sendiri seolah ada penganiayaan pada tubuh Brigadir J.

Ia juga menyebut bahwa kuasa hukum keluarga korban tak berwenang menyebut ada lebam-lebam pada tubuh korban, karena soal lebam yang ditemukan pada Brigadir J, menurutnya itu harus dokter forensik yang memastikan lewat pemeriksaan otopsi soal lebam disebabkan apa, apakah itu livor mortis alias lebam mayat setelah kematian klinis atau ada penganiayaan.

Lebih lanjut, menurut Ricky, dari segi ilmu kedokteran forensik pada tubuh orang yang meninggal, memang ada livor mortis bahkan mata, kulit, temparatur tubuh juga mengalami perubahan.

“Soal banyak lebam-lebam, saya kira kuasa hukum keluarga korban Brigadir J harus mempelajari terlebih dahulu ilmu kedokteran forensik soal livor mortis pada mayat, karena itu ilmu penunjang hukum pidana, karena tak bisa bicara lebam lebam seolah ada penganiayaan jika belum keluar hasil otopsi yang dibuat oleh dokter forensik. Karena soal lebam pada mayat, soal seolah-olah luka sayatan bahkan luka tusukan, itu hanya bisa disimpulkan oleh yang berwenang yaitu dokter forensik melalui hasil otopsi, itu nanti disampaikan tim khusus yang dibentuk Kapolri,” tegasnya.

Selain itu, Ricky Vinando juga menyebut bahwa tudingan seolah adanya pembunuhan berencana adalah lemah secara hukum, karena kuasa hukum keluarga korban Brigadir J tidak bisa menyebut apa motif pembunuhan berencana. Sehingga, LP benar-benar sangat lemah tak hanya soal Pasal 351 ayat 3 saja tapi juga soal pasal 340 jo 338 KUHPidana.

“LP dengan Pasal 340 KUHPidana, pertanyaan besarnya, apa motifnya? Kan pembunuhan berencana harus ada motif yang melatarbelakangi terjadinya pembunuhan berencana, tidak ada pembunuhan berencana tanpa motif. Jadi, benar-benar tidak jelas pasal-pasal dalam LP tersebut utamanya soal 340 jo 338 jo 351 ayat 3 KUHPidana. Jadi pernyataan yang disampaikan juga tak logis,” tuturnya.

Terkait hal itu, Ricky Vinando pun memberikan contoh, misal A menjadi korban penganiayaan mengakibatkan kematian, lalu kuasa hukum juga bawa-bawa pasal pembunuhan berencana, itu logika hukumnya bagaimana? Karena dua perbuatan yang berbeda, dan akibatnya sama-sama mati, misal sudah mati satu kali, bagaimana bisa mati kedua kali?

“Bisa mati 2 kali dari 2 perbuatan yang berbeda yang akibatnya sama-sama mati, mati lalu hidup lagi lalu mati lagi?? caranya bagaimana? Seperti zombie saja, harusnya tidak ada LP itu sebelum rampungnya investigasi dari tim khusus yang dibentuk Kapolri. Karena tidak ada itu perbuatan Pasal 340 jo 338 jo 351 ayat 3 KUHPidana sebagaimana dalam LP tersebut karena banyak tak logisnya,” ujarnya.

Dapatkan update berita terkini setiap hari dari Terkini.id. Mari bergabung di Saluran Whatsapp "Terkinidotid", caranya klik link https://whatsapp.com/channel/terkinidotid, kemudian klik ikuti.