Terkini.id, Jakarta – Panut Mulyono, Rektor Universitas Gadjah Mada (UGM), mendukung langkah Mendikbud Ristek Nadiem Makarim menerbitkan Permendikbud Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS).
Panut mengatakan bahwa terbitnya Permendikbud ini memperkuat Peraturan Rektor UGM Nomor 1 tahun 2020 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual.
“Pasti (memperkuat). Artinya kami (kampus), saya sendiri sebagai rektor lebih percaya diri untuk menerapkan aturan itu karena ada payung hukum yang lebih tinggi untuk menindak,” ujar Panut saat dihubungi wartawan, Rabu 10 November 2021, dikutip dari Detikcom.
Permendikbud PPKS ini disambut baik oleh Panut. Menurut Panut, UGM tinggal menyinergikan peraturan rektor yang ada dengan Permendikbud itu.
“Ini justru bagi UGM menjadi dasar hukum yang lebih tinggi sehingga kami UGM nanti tinggal menyesuaikan saja,” ujarnya.
“Kami yang sekarang berlaku peraturan rektor. Kemudian kami mempunyai waktu 1 tahun untuk penyesuaian dengan Permendikbud No 30 tahun 2021. Penyesuaian paling lambat 1 tahun sejak 3 September 2021,” imbuhnya.
Panut merasa lebih percaya diri untuk memberikan sanksi dengan adanya aturan ini. Permendikbud PPKS ini menurutnya bisa menjadi landasan untuk menindak pelaku kekerasan seksual secara legal.
“Untuk memberikan sanksi dan lain-lain menjadi lebih percaya diri karena ada aturan yang kami pedomani,” ujarnya.
Di sisi lain, adanya Permendikbud PPKS ini menuai kontroversi karena dianggap melegalkan zina. Mengenai hal ini, Panut tidak sependapat dengan pemikiran adanya peraturan yang dimaksudkan untuk melegalkan zina.
“Kalau saya berpandangan tidak mungkin sebuah peraturan bermaksud untuk melegalkan seks bebas. Wong ini yang terjadi saja dicegah kok malah dilegalkan dari mana logika itu datang,” ujar Panut.
Salah satu yang disorot dalam peraturan itu, yakni adanya frasa tidak disetujui oleh korban. Panut menilai dengan adanya frasa itu, tidak bisa diartikan jika kedua belah pihak setuju berarti memperbolehkan kekerasan seksual.
“Lalu orang berpikir seolah-olah ada persetujuan boleh. Saya yakin tidak dimaksudkan seperti itu karena kita punya norma. Kalau pun ada persetujuan kalau dia bukan muhrim jelas tidak boleh. Kalau pun muhrim kalau dilakukan di tempat bukan pada tempatnya pasti tidak boleh,” tegasnya.
“Saya menyakini bahwa maksud peraturan itu bukan untuk melegalkan secara kedua pihak itu saling setuju saling sepakat walaupun bukan muhrimnya. Saya tidak yakin seperti itu,” lanjutnya.
Panut pun menyarankan jika ada hal yang menimbulkan multitafsir sebaiknya segera dilakukan revisi.
“Pendapat saya hal yang masih menimbulkan multitafsir menimbulkan polemik perbaiki saja. Disempurnakan,” imbuhnya.