Terkini.id, Makassar – Perhimpunan Hotel & Restoran Indonesia (PHRI) Sulawesi Selatan menilai KUHP baru bisa berdampak terhadap okupansi hotel. Salah satunya, dengan adanya Pasal 431 tentang perzinaan.
Pasal ini merupakan delik aduan, yang mana akan diproses hanya jika pihak yang diizinkan melapor, dalam hal ini kerabat dekat seperti pasangan, orang tua, atau anak.
Meski begitu, hal ini dianggap mengganggu ranah privasi, termasuk berpotensi mengganggu kenyamanan tamu yang melakukan reservasi di hotel.
Ketua Perhimpunan Hotel & Restoran Indonesia (PHRI) Sulawesi Selatan (Sulsel) Anggiat Sinaga menyayangkan jika aturan ini akan benar-benar diterapkan. Sebab, ini akan menjadi persoalan baru di industri perhotelan.
“Ke depan ini bisa mengusik ketenangan tamu yang menginap. Utamanya, tidak semua pasangan suami istri bepergian membawa surat nikah,” kata Anggiat, Jumat, 9 Desember 2022.
- Bike Tour 2022 DPD PHRI Sulsel Berhadiah Umrah, Buruan Daftar di Sini
- Kadis Pariwisata Makassar Resmi Buka MICE Expo 2022, Saatnya Berburu Promo Khusus 38 Hotel di Mal PIPO
- Tingkat Hunian Hotel di Makassar Terjun Bebas Setelah Kenaikan Harga Tiket Pesawat
- Dispar Makassar dan PHRI Sulsel Sukses Gelar Direct Sale di Jogyakarta untuk Tarik Wisatawan Domestik
- Walikota Danny Pomanto: Peran PHRI untuk Makassar Miliki Porsi Besar Tumbuhkan Perekonomian
Menurutnya, dengan adanya kebijakan untuk menunjukkan pasangan suami istri saat melakukan reservasi tentu akan memberatkan tamu. Bahkan, ini bisa menjadi peluang aparat lainnya untuk menganggu tamu yang datang berkunjung.
Anggiat menekankan, ini tak hanya akan berdampak pada okupansi hunian, melainkan akan membuat ketidakpercayaan masyarakat.
“Bayangkan saja suami istri sah menginap dan harus diintrograsi terkait ke absahan pernikahannya, pasti orang terusik. Ini bukan soal dampak negatifnya saja bagi hotel tapi ke tami juga,” tegas Anggiat.
Lebih lanjut, CEO Phinisi Hospitality Indonesia (PHI) itu menyebut, hampir semua Ketua BPD PHRI se-Indonesia protes UU ini. Termasuk ketua umum BPP PHRI.
“Karena UU-nya akan memberi peluang kegaduhan, bukan berarti kita setuju kumpul kebo, tapi dalam tatanan dan etika dunia hal-hal seperti ini tidak perlu diurusi karena sangat personal,” tandasnya.