Resonansi Beragama
Komentar

Resonansi Beragama

Komentar

RESONANSI atau refleksi keberagamaan tercermin dalam bulan penuh berkah ini, Ramadan mubaraq. Tetapi wajah lain juga turut mewarnai yakni adanya fenomena komersialisasi dan komodifikasi agama menjadi relevan dengan menyimak semarak Ramadan, ditandai geliat aktivitas keagamaan, baik di masjid dan ruang publik lainnya, maupun di media massa, plus media sosial. Pertanyaannya, apakah fenomena tersebut cerminan semakin tingginya kesadaran beragama umat Islam atau sebaliknya.

Ditengarai dalam perspektif lain, justru yang terjadi adalah komodifikasi agama. Konsumerisme dan kapitalisme berjubah agama.

Sejatinya dimaknai sebagai momentum meresonansikan kesadaran beragama. Namun gejala tersebut tidaklah merepresentasikan kesadaran beragama secara paripurna. Tetapi yang terjadi adalah sebuah realitas agama yang terjebak dalam arus komodifikasi dan komersialisasi sehingga mereduksi substansi beragama.

Wajah beragama tercermin semaraknya aktifitas keagamaan dibentang sepanjang Ramadan, patut dijadikan sebagai ruang kontemplasi dan revolusi diri. Tampaknya, fenomena keagamaan tersebut tidak dapat dibaca demikian, sebab nyatanya terendus hal yang kontras.

Pertama, intensitas sebagian besar umat Islam menjalankan amaliah Ramadan sangat sempurna, antusiasias sebagai bentuk refleksi keimanan dan ketaqwaan sehingga larut berfastabiqul khaerat, berlomba dalam kebaikan.

DPRD Kota Makassar 2023

Kecuali itu, sekelompok orang yang intens beraktifitas di mall ke mall shopping Ramadan dengan mengejar discount, lalu mengabaikan perintah puasa. Di tempat tersebut, tidak pelak lagi, jubelan orang yang shopping kemudian “menyerbu” café petanda tak berpuasa meski mengenakan hijab begitu ketat. Tidak sendiri, tetapi bersama keluarga. Sang suami mendampingi istrinya menikmati sajian menu di mall saat yang lain menjalankan ibadah puasa.

Kedua, wajah beragama yang tayang di media juga sarat muatan komodifikasi agama. Betapa nilai fungsi menjadi nilai tukar. Demikian Vincent Mosco “mencurigai” kapitalisme mewabah dalam agama. Selaras dengan teori McDonaldisasi-nya Goerge Ritzer yang mendedahkan muatan teorinya mencakup efesien, kalkulabitas, prediktibilitas dan tenaga manusia dimanjakan teknologi.

Resonansi beragama yang lebih edukatif dan substantive sejatinya menjadi realitas keberagamaan sepanjang Ramadan ini yang didominasi trend komodifikasi agama menjadi problematika beragama yang perlu serasikan dengan efek media dan semarak syiar Islam.

Globalisasi yang didedahkan media dalam ruang publik yang massif meniscayakan agama hadir sebagai penuntun hidup yang tetap berpijak pada dimensi yang benar, bukan menyimpang apalagi mereduksi substansi agama.

Hal mengkhawatirkan kala agama akan terbelenggu dalam hegemoni konsumerisme diikuti komersialisasi agama. Maka tanggung jawab kolektif umat Islam yang utama adalah mengedepanakan pemahaman dan pengamalan agama sesuai ajaran inti sejak awal kenabian rasulullah dan wahyu pertama diturunkan.

Kesadaran beragama sejatinya menjadi pijakan pengamalan agama yang terbebaskan dari arus komodifikasi agama yang sebatas mewujud dalam simbol dan life style. Tetapi tercerminkan dari akhlak mulia sebagai wujud perilaku dengan kesadaran agama secara kaffah. Resonansi beragama tercermin dari keshalehan yang mewujud dalam perilaku keseharian kita.  Semoga!