MERAIH hidup bahagia menjadi tujuan setiap orang. Perjalanan hidup setiap manusia melalui poros yang kadang berbeda, bahkan kadangkala berjalan di tapak yang sama, tetapi nuansa yang dirasakan berbeda.
Ada yang menikmatinya dan juga kadang ada yang sekadar menjalani tanpa kesan, melainkan hanya kelelahan. Hal yang membedakan adalah soal mengola rasa bahagia.
Beragam defenisi bahagia dari para ahli terutama psikolog, tetapi suasana yang dirasakan orang yang merasakan bahagia itu hanya dirinya yang lebih menyelaminya.
Meraih hidup bahagia menjadi impian setiap orang, namun acapkali gagal meraih bahagia itu menyimpang pada tujuan hidupnya, yakni bahagia dirasakan selama seseorang semata mengharapkan ridha Allah Swt.
Kadangkala justru keliru memaknai bahagia dan juga orientasi hidupnya.
Kebahagiaan seseorang sangat tergantung pada yang menikmatinya yang diiringi rasa syukur, qana’ah, merasa cukup lalu menerima segala pemberian Allah Swt kepadanya.
Sebaliknya, tidak sedikit yang terobsesi meraih kebahagiaan dan ketenangan hidup, tetapi berjarak dengan Allah sehingga kesan kebahagiaan yang dinikmatinya berbeda.
Kebahagian hidup seseorang tidak dapat diukur dari penilain orang lain, kecuali dirinya sendiri. Kemungkinan orang lain bakal keliru menilainya, kadangkala seorang dipersepsikan bahagianya, nyatanya menderita tak berujung, sekalipun ia mampu menyembunyikan kegundahan dan problem hidupnya, apalagi mereka yang haus pencitraan.
Tentunya senantiasa menjaga perkataan, pakaian dan sikapnya sehingga kadangkala dianggap berbahagia tetapi justru sebaliknya.
Seseorang akan meraih kebahagiaan hidup jika mereka menakarnya dengan hati. Maka di bulan Ramadan ini, melalui i’tikaf dan zikir kepada Allah Swt justru itu yang mendatangkan ketenangan hati yang memancarkan bahagia yang hakiki.
Sebaliknya, orang yang meraih bahagia dengan memperkaya diri dengan menghalalkan segala cara, belum dapat dijamin mereka bakal bahagia sekalipun hartanya melimpah.
Bahagia itu persoalan hati, ketenangan hidup. Orang yang kaya belum dijamin bahagia karena pikiran mereka bercabang dan justru memiliki banyak beban pikiran.
Hal yang memungkinkannya tenang jika meyakini bahwa segala bentuk kekayaan itu adalah titipan Allah kepadanya yang harus dimanfaatkan untuk diri dan keluarganya serta masyarakat luas, termasuk bersedekah untuk amal jariahnya kelak.
Tujuan hidup manusia adalah beribadah semata kepada Allah Swt, kemudian sang khaliq mengaruniakan padanya berupa kekayaan untuk pergunakan memaksimalkan beribadah kepada Allah Swt.
Namun tidak sedikit umat manusia yang justru keliru. Mereka terjebak dan silau dengan kegemerlapan duniawi yang justru menjauhkannya dengan Allah swt.
Tidak meraih kebahagiaan hakiki, melainkan hanya bahagia semu. Wallahu a’lam.
Dapatkan update berita terkini setiap hari dari Terkini.id. Mari bergabung di Saluran Whatsapp "Terkinidotid", caranya klik link https://whatsapp.com/channel/terkinidotid, kemudian klik ikuti.
